Kamis, 19 Desember 2013
Rabu, 11 Desember 2013
TEKNIK BUDIDAYA JAMUR TIRAM
TEKNIK BUDIDAYA JAMUR TIRAM
Usaha budidaya jamur tiram seringkali mengalami kegagalan karena
teknik dan cara budidaya yang kurang benar. Meskipun gampang, perlu
diperhatikan faktor-faktor seperti lingkungan, kebersihan, serta
konsistensi selama perawatan. Jika faktor-faktor tersebut tidak bisa
dipenuhi dengan baik maka hasilnya pun kurang optimal bahkan besar
kemungkinan berpotensi mendatangkan kegagalan.
Jamur tiram putih berwarna putih agak krem dengan diameter tubuh 3-14
cm. Jamur ini memiliki miselium. Tubuh buah jamur inilah yang bernilai
ekonomis tinggi dan menjadi tujuan dari budidaya jamur tiram. Teknik
budidaya jamur tiram mulai dari persiapan hingga pasca panen sangat
perlu diperhatikan agar pelaku usaha benar-benar memahami sehingga lebih
menguasai dalam pemeliharaan maupun pengendalian hama tanaman.
PERSIAPAN PENANAMAN
Sebelum melakukan penanaman, hal-hal yang menunjang budidaya jamur
tiram harus sudah tersedia, diantaranya rumah kumbung baglog, rak
baglog, bibit jamur tiram, dan peralatan budidaya. (Bisa Anda lihat di
artikel Persiapan Usaha Budidaya Jamur Tiram). Usahakan budidaya jamur
tiram menggunakan bibit bersertifikat yang dapat dibeli dari petani lain
atau dinas pertanian setempat. Peralatan budidaya jamur tiram cukup
sederhana, harga terjangkau, bahkan kita bisa memanfaat peralatan dapur.
Untuk mengoptimalkan hasil dalam usaha budidaya jamur tiram di
dataran rendah dapat dilakukan dengan modifikasi terhadap bahan media
dan takarannya, yakni dengan menambah atau mengurangi takaran tiap-tiap
bahan dari standar umumnya. Dalam usaha skala kecil, eksperimen dalam
menentukan takaran bahan media merupakan hal yang sangat penting guna
memperoleh takaran yang pas. Hal ini mengingat jamur yang dibudidayakan
di lingkungan tumbuh berbeda tentu membutuhkan nutrisi dan media yang
berbeda pula tergantung pada kondisi lingkungan setempat. Hingga saat
ini belum ada standar komposisi media untuk budidaya jamur tiram di
dataran rendah, sehingga petani memodifikasi media dan lingkungan
berdasarkan pengalaman dan kondisi masing-masing.
Sebagai media tumbuh jamur tiram, serbuk gergaji berfungsi sebagai
penyedia nutrisi bagi jamur. Kayu yang digunakan sebaiknya kayu keras
karena serbuk gergaji kayu jenis tersebut sangat berpotensi dalam
meningkatkan hasil panen jamur tiram. Hal ini karena kayu keras banyak
mengandung selulosa yang dibutuhkan oleh jamur. Jenis-jenis kayu keras
yang bisa digunakan sebagai media tanam jamur tiram antara lain sengon,
kayu kampung, dan kayu mahoni. Untuk mendapatkan serbuk kayu pembudidaya
harus memperolehnya ditempat penggergajian kayu. Sebelum digunakan
sebagai media biasanya sebuk kayu harus dikompos terlebih dahulu agar
bisa terurai menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga mudah dicerna
oleh jamur. Proses pengomposan serbuk kayu dilakukan dengan cara
menutupnya menggunakan plastik atau terpal selama 1-2 hari. Pengomposan
berlangsung dengan baik jika terjadi kenaikan suhu sekitar 50 derajat C.
Alternatif bahan yang bisa digunakan untuk mengganti serbuk kayu
adalah berbagai macam ampas, misal ampas kopi, ampas kertas, ampas tebu,
dan ampas teh. Namun, berdasarkan pengalaman petani jamur tiram di
dataran rendah, media yang baik untuk digunakan tetap serbuk gergaji
kayu.
Media berupa dedak/bekatul dan tepung jagung berfungsi sebagai
substrat dan penghasil kalori untuk pertumbuhan jamur. Sebelum membeli
dedak dan tepung jagung, sebaiknya pastikan dahulu bahan-bahan tersebut
masih baru. Jika memakai bahan yang sudah lama dikhawatirkan sudah
terjadi fermentasi yang dapat berakibat pada tumbuhnya jenis jamur yang
tidak dikehendaki. Berdasarkan hasil penelitian, penggunaan dedak maupun
teung jagung memberikan kualitas hasil jamur yang sama karena kandungan
nutrisi kedua bahan tersebut mirip. Namun, penggunaan dedak dianggap
lebih efisien karena bisa memangkas biaya dan cenderung mudah dicari
karena banyak dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Kapur (CaCo3) berfungsi
sebagai sumber mineral dan pengatur pH. Kandungan Ca dalam kapur dapat
menetralisir asam yang dikeluarkan meselium jamur yang juga bisa
menyebabkan pH media menjadi rendah.
Wadah yang digunakan untuk meletakkan campuran media adalah kantong
plastik bening tahan panas (PE 0,002) berukuran 20 cm x 30 cm. Adapun
komposisi media semai adalah serbuk gergaji 100 kg; tepung jagung 10 kg;
dedak halus atau bekatul 10 kg; kompos 0,5 kg; kapur (CaCo3) 0,5 kg;
dan air 50-60%. Ada dua hal yang harus diperhatikan sebelum melakukan
penanaman bibit jamur, yaitu sterilisasi bahan dan sterilisasi baglog.
A. Sterilisasi Bahan
Sebelum dicampur dengan media lain, serbu kayu dan dedak
disterilisasi terlebih dahulu menggunakan oven selama 6-8 jam pada suhu
100 derajat C. Dengan sterilisasi tersebut selain mengurangi
mikroorganisme penyebab kontaminsasi juga menguranngi kadar air pada
serbuk gergaji kayu. Dengan demikian, media menjadi lebih kering. Kedua
bahan tersebut kemmudian dicampur dan diberi air sekitar 50—60% hingga
adonan menjadi kalis dan bisa dikepal. Air berfungsi dalam penyerapan
nutrisi oleh miselium. Air yang digunakan harus air bersih untuk
mengurangi resiko kontaminasi organisme lain dalam media. Dalam
memasukkan media ke dalam plastik, media harus benar-benar padar agar
jamur yang dihasilkan bisa banyak. Jadi pastikan bahwa bahan-bahan telah
cukup padat di dalam plastik dengan cara menekan—nekan adonan hingga
benar-benar padat, kemudian bagian atas kantong dipasang cincin paralon
dan selanjutnya kantong plastik ditutup dengan sumbat kapas dan diikat
dengan karet.
B. Sterilisasi Baglog
Sterilisasi baglog dilakukan dengan cara memasukkan baglog ke dallam
autoclave atau pemanas/steamer dengan suhu 121 derajat C selama 15
menit. Untuk mengganti penggunaan autoclave atau streamer, dapat
menggunakan drum dengan kapasitas besar atau mampu menampung sekitar 50
baglog dan dipanasi di atas kompor minyak atau dapat juga menggunakan
oven. Memang, sterilisasi baglog menggunakan drum memakan waktu lebih
lama, yaitu sekitar 8 jam, tetapi dianggap lebih menghemat biaya.
Setelah proses sterilisasi selesai, baglog kemudian didinginkan,
yakni dengan mematikan alat sterilisasi dan membiarkan suhunya turun
sedikit demi sedikit. Setelah proses pendinginan, baru kemudian
dilakukan penanaman bibit jamur.
Salah satu penentu keberhasilan budidaya jamur tiram adalah
kebersihan dalam melakukan proses budidayanya, baik kebersihan tempat,
alat, maupun pekerjanya. Hal ini karena kebersihan adalah hal yang
mutlak harus dipenuhi. Untuk itu, tempat untuk penanaman sebaiknya harus
dibersihkan dahulu dengan sapu, lantai dan dindingnya dibersihkan
menggunakan disinfektan. Alat yang digunakan untuk menanam juga harus
disterilisasi menggunakan alkohol dan dipanaskan di atas api lilin.
Selain itu, selama melakukan penanaman para pekerja juga idealnya
menggunakan masker. Hal ini bertujuan untuk memperkecil terjadinya
kontaminasi.
Dalam budidaya jamur tiram hal yang juga harus diperhatikan adalah
menjaga suhu dan kelembaban ruang agar tetap pada standar yang
dibutuhkan. Jika cuaca lebih kering, panas, atau berangin, tentu akan
mempengaruhi suhu dan kelembaban dalam kumbung sehingga air cepat
menguap. Bila demikian, sebaiknya frekuensi penyiraman ditingkatkan.
Jika suhu terlalu tinggi dan kelembaban kurang, bisa membuat tubuh jamur
sulit tumbuh atau bahkan tidak tumbuh. Oleh karena itu, atur juga
sirkulasi udara di dalam kumbung agar jamur tidak cepat layu dan mati.
Pengaturan sirkulasi dapat dilakukan dengan cara menutup sebagian lubang
sirkulasi ketika angin sedang kencang. Sirkulasi dapat dibuka semua
ketika angin sedang dalam kecepatan normal. Namun, yang terpenting
adalah jangan sampai jamur kekurangan udara segar.
PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT
Selain pemeliharaan baglog, dalam budidaya jamur tiram juga perlu
dilakukan perawatan untuk mencegah atau mengendalikan hama dan penyakit
yang mungkin bisa menyerang jamur tiram. Hama dan penyakit yang
menyerang jamur tiram tentu dipengaruhi oleh keadaan lingkungan maupun
jamur itu sendiri. Sehingga antara tempat budidaya yang satu dan yang
lain, serangan hama penyakit kemungkinan dapat berbeda-beda.
A. Ulat
Ulat merupakan hama yang paling banyak ditemui dalam budidaya jamur
tiram. Ada tiga faktor penyebab kemunculan hama ini yaitu faktor
kelembaban, kotoran dari sisa pangkal/bonggol atau tangkai jamur dan
jamur yang tidak terpanen, serta lingkungan yang tida bersih.
Hama ulat muncul ketika kelembaban udara berlebihan. Oleh sebab itu,
hama ulat sering dijumpai ketika musim hujan. Pencegahan menjadi solusi
terbaik untuk mengatasi hama ini adalah dengan mengatur sirkulasi udara.
Caranya dengan membuka lubang sirkulasi dan untuk sementara proses
penyiraman keumbung dihentikan.
Pangkal jamur yang tertinggal di baglog saat pemanenan dapat
menimbulkan binatang kecil seperti kepik. Kepik inilah yang menjadi
penyebab munculnya hama ulat. Sementara jamur yang tidak terpanen
kemungkinan terjadi karena jamur tidak muncul keluar sehingga luput saat
pemanenan dan menjadi busuk. Hal ini menyebabkan munculnya ulat.
Sebaiknya, ketika melakukan pemanenan baglog telah dipastikan
kebersihannya sehingga tidak ada pangkal atau batang dan jamur yang
tidak terpanen.
Ulat bisa saja muncul karena rumah kumbung ataupun sekitar kumbung
tidak berseih. Misalnya adanya kandang ternak atau tanaman di sekitar
rumah kumbung.
Untuk mencegah dan mengatasi serangan hama ulat, lakukan pembersihan
rumah kumbung dan sekitar rumah kumbung dengan melakukan penyemprotan
formalin.
B. Semut, Laba-laba, dan Kleket (sejenis moluska)
Secara mekanis hama semut dan laba-laba dapat diatasi dengan
membongkar sarangnya dan menyiramnya dengan minyak tanah. Sedangkan
secara kemis hama tersebut dapat dikendalikan dengan penyemprotan
insektisida. Cara ini merupakan cara terakhir dan usahakan untuk
menghindari penggunaan insektisida jika serangan tidak parah karena
produk jamur merupakan produk organik. Keuntungan jika pemberantasan
hama serangga dilakukan dengan cara mekanis antara lain, dapat memangkas
biaya selama perawatan dan juga ramah lingkungan. Sementara itu hama
kleket kerap dijumpai pada mulut baglog. Untuk mengendalikannya juga
dilakukan dengan cara mekanis, yaitu mengambilnya dengan tangan.
C. Penyakit
Jamur lain yang kerap mengganggu jamur tiram adalah Mucor sp.,
Rhizopus sp., Penicillium sp., dan Aspergillus sp. pada substrat atau
baglog. Serangan jamur-jamur tersebut bersifat patogen yang ditandai
dengan timbulnya miselium berwarna hitam, kuning, hijau, dan timbulnya
lendir pada substrat. Miselium-miselium tersebut mengakibatkan
pertumbuhan jamur tiram terhambat atau bahkan tidak tumbuh sama sekali.
Penyakit ini dapat disebabkan karena lingkungan dan peralatan saat
pembuatan media penanaman kurang bersih atau karena lingkungan kumbung
yang terlalu lembab. Untuk mengatasi penyakit ini, lingkungan dan
peralatan ketika pembuatan media dan penanaman perlu dijaga
kebersihannya. Kelembaban di dalam kumbung juga diatur agar tidak
berlebihan. Penyakit ini dapat menyerang baglog yang sudah dibuka
ataupun masih tertutup. Jika baglog sudah terserang maka harus segera
dilakukan pemusnahan dengan cara dikeluarkan dari kumbung kemudian
dibakar.
Tangkai Memanjang
Tangkai Memanjang
Penyakit ini merupakan penyakit fisiologis yang ditandai dengan
tangkai jamur memanjang dengan tubuh jamur kecil tidak dapat berkembang
maksimal. Penyakit tangkai memanjang disebabkan karena kelebihan CO2
akibat ventilasi udara yang kurang sempurna. Agar tidak terserang
penyakit ini harus dilakukan pengaturan ventilasi dalam kumbung
seoptimal mungkin.
PANEN dan PASCA PANEN
Pemanenan merupakan kegiatan budidaya yang selalu dinantikan oleh
pelaku usaha. Untuk mendapatkan hasil yang optimal maka penanaman selama
panen dan pasca panen harus dilakukan dengan baik.
A. Waktu dan Cara Panen Jamur Tiram
Jamur tiram termasuk jenis tanaman budidaya yang memiliki masa panen
cukup cepat. Panen jamur tiram dapat dilakukan dalam jangka waktu 4o
hari setelah pembibitan atau setelah tubuh buah berkembang maksimal,
yaitu sekitar 2-3 minggu setelah tubuh buah terbentuk. Perkembangan
tubuh buah jamur tiram yang maksimal ditandai pula dengan meruncngnya
bagian tepi jamur. Kriteria jamur yang layak untuk dipanen adalah jamur
yang berukuran cukup besar dan bertepi runcing tetapi belum mekar penuh
atau belum pecah. Jamur dengan kondisi demikian tidak mudah rusak jika
dipanen. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi ketika produk
dipasarkan, misalnya keseragaman berat dan ukuran jamur tiram.
B. Penanganan Pasca Panen Jamur Tiram
Penanganan yang dilakukan usai pemanenan jamur tiram bertujuan untuk
menciptakan hasil akhir yang berkualitas sehingga sesuai dengan
permintaan pasar. Berikut beberapa tahapan agar produk jamur tiram yang
dihasilkan berkualitas baik.
C. Penyortiran
Jamur yang telah dipanen harus segera dicuci dengan air bersih,
kemudian bagian tubuh buahnya dipisahkan deri pangkalnya. Proses
pencucian dan pemisahan ini penting untuk dilakukan karena bila selama
proses budidaya petani menggunakan pestisida, biasaya racun pestisida
akan mengendap pada bagian pangkal dan masih memungkinkan terdapat
residu yang tertinggal pada tubuh buah. Setelah diyakini kebersihannya,
proses sortasi dilakukan untuk mengelompokkan jamur tiram berdasarkan
bentuk dan ukurannya. Hal ini bertujuan untuk memperoleh hasil yang
seragam sehingga akan menarik minat konsumen saat dipasarkan.
Selasa, 10 Desember 2013
PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI EDAMAME (Glycine max (L.) Merr.) PADA BERBAGAI DOSIS ZEOLIT DAN JENIS PUPUK NITROGEN
PERTUMBUHAN
DAN PRODUKSI KEDELAI EDAMAME
(Glycine max (L.) Merr.) PADA BERBAGAI
DOSIS ZEOLIT
DAN
JENIS PUPUK NITROGEN
NANI YULIANTI, S.P
I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Kedelai banyak digemari oleh masyarakat sebagai bahan pangan yang dapat
dikonsumsi baik dalam bentuk olahan (tahu, tempe, susu, kecap) atau segar
(cukup direbus). Masyarakat Indonesia
pada umumnya mengkonsumsi kedelai dalam bentuk olahan, hanya sebagian kecil
masyarakat menengah ke atas yang mengkonsumsi kedelai segar. Menurut Soewanto et al. (2007), penggunaan kedelai segar
sebagai sayuran dan kudapan sekitar 5% dari total hasil panen. Kedelai segar
yang bisa digunakan adalah edamame.
Permintaan kedelai
segar di Indonesia sangat rendah dibandingkan kedelai kering, berbeda dengan
masyarakat Jepang yang menyukai kedelai segar, sehingga Jepang merupakan negara
pengimpor kedelai segar hijau dalam jumlah besar. Menurut Benziger dan
Shanmugasundaram (1995), Jepang merupakan konsumen dan pasar utama edamame baik
dalam bentuk segar maupun beku. Total
kebutuhan pasar edamame beku di Jepang berkisar antara 150.000-160.000
ton/tahun. Kebutuhan tersebut dipenuhi dengan cara mengimpor edamame dari
berbagai negara, termasuk Indonesia. Pada tahun 2005 Indonesia mengekspor 665
ton edamame segar beku, setara dengan 0,96% kebutuhan impor edamame Jepang.
Impor edamame ke Jepang terus meningkat
setiap tahunnya, mencapai 60.000-70.000 ton/tahun (Soewanto 2007).
Menurut Badan
Pusat Statistik (2012), kebutuhan kedelai masyarakat Indonesia meningkat setiap
tahunnya. Pada tahun 2010, produksi kedelai di Indonesia sebesar 907.031 ton dan
pada tahun 2011 mengalami penurunan menjadi 870.068 ton. Untuk memenuhi
konsumsi kedelai dalam negeri sebesar 2,9 juta ton, Indonesia mengimpor kedelai
sebanyak 2,08 juta ton atau senilai US$ 1,24 miliar. Produksi kedelai dalam
negeri yang rendah disebabkan oleh rata-rata produktivitas kedelai di tingkat
petani yang masih rendah (1,3 ton ha-1) (Balitbang
Pertanian 2008).
Upaya
peningkatan produksi kedelai mencakup berbagai subsistem, mulai dari hulu
(faktor produksi), produksi (on farm), hilir hingga penunjang. Pemerintah
memproyeksikan swasembada kedelai dapat dicapai pada tahun 2015. Upaya
peningkatan produksi ini ditempuh melalui dua cara yaitu perluasan areal tanam
dan peningkatan produktivitas. Teknologi utama yang dibutuhkan dalam peningkatan
produktivitas adalah penggunaan benih unggul, pengendalian organisme pengganggu
tanaman secara terpadu, perbaikan kesuburan lahan dengan pemupukan sesuai
kebutuhan, waktu musim tanam yang sesuai dan rotasi tanaman (Balitbang
Pertanian 2005).
Pemupukan yang
sesuai kebutuhan tanaman dapat meningkatkan
pertumbuhan dan produktivitas tanaman, karena hara menentukan pertumbuhan tanaman dan hasil
biji (John dan David 2001). Salah satu
hara yang membatasi pertumbuhan tanaman adalah nitrogen (N). Pada kedelai,
pupuk N diberikan sebagai starter
sebelum bintil akar berfungsi, maupun sebagai pupuk tambahan untuk memenuhi
kebutuhan N yang tinggi pada saat pengisian polong (Zapata et al 1987; Eagly et al.
1981). Tanaman legum dengan bintil akarnya dapat memanfaatkan nitrogen dari
udara maupun nitrogen anorganik dari dalam tanah (Hardjowigeno 2003) dalam
bentuk ion amonium dan nitrat (Taiz dan Zeiger 1998). Nitrat mula-mula
direduksi jadi nitrit oleh nitrat reduktase, sedangkan gas nitrogen disemat
oleh nitrogenase (Hardjowigeno 2003). Penambatan N pada tanaman kedelai
bergantung pada ketersediaan air, inokulasi, pemupukan N dan kandungan N dalam
tanah ( Herridge 1991). Kebutuhan N tanaman kedelai mencapai 92 g kg-1 biji
untuk mencapai produksi biji yang optimum (John dan David 2001).
Pemupukan N dengan dosis 400 kg ha-1 pada
kedelai menghasilkan bobot biji kering tertinggi (1762,7 kg ha-1)
(Ghulamahdi dan Azis 1992). Pada padi, peningkatan penggunaan pupuk urea 600 kg
ha-1 dapat meningkatkan kadar protein beras sebesar 2,96% (Setyono
2008).
Pupuk nitrogen
dapat diserap oleh tanaman setelah mengalami hidrolisis menjadi NH4+
dan NO3-. Amonium
mempunyai sifat mudah menguap dan dapat diikat oleh mineral lilit
sehingga tidak dapat diserap oleh tanaman, sedangkan N dalam bentuk NO3-
mudah dicuci oleh air hujan (Hardjowigeno 2003). Pemberian N berlebih
mengakibatkan sebagian mikroorganisme tanah tidak dapat berkembang (Suwardi dan
Darmawan 2009 ). Pemberian N dosis tinggi dapat menurunkan infeksi bakteri Rhizobium melalui bulu akar, jumlah
bintil akar dan menghambat enzim
nitrogenase (Mulatsih et al.2000).
Penggunaan pupuk nitrogen yang berlebih
dapat merusak dan mengakibatkan tanah tidak responsif lagi terhadap pemupukan
sehingga produksi pertanian sulit ditingkatkan (Suwardi, 2004).
Berdasarkan
senyawa dasar pembentuknya, pupuk N dibedakan atas amida, amonium dan nitrat.
Urea merupakan sumber pupuk nitrogen yang bersenyawa dasar amida. Urea dapat
langsung dimanfaatkan oleh tanaman, akan tetapi biasanya di dalam tanah diubah
menjadi amonium dan nitrat melalui proses amonifikasi dan nitrifikasi oleh
bakteri tanah (Leiwakabessy dan Sutandi 2004). Swavelzure amoniak (ZA) atau
amonium sulfat (AS) merupakan pupuk nitrogen yang bersenyawa dasar amonium
(Leiwakabessy dan Sutandi 2004), bersifat mudah larut dan cara kerjanya cepat
(Hardjowigeno 2003). Selain dari pupuk urea dan ZA sumber N juga dapat
diperoleh dari pupuk NPK dan kompos. NPK merupakan pupuk majemuk yang
mengandung N dalam bentuk amonium dan nitrat dengan sifatnya yang sangat
higroskopik (Hardjowigeno 2003). Kompos adalah bahan organik yang telah
mengalami dekomposisi sehingga dapat meningkatkan unsur hara tersedia bagi
tanaman (Hartatik dan Widowati 2006).
Sifat utama N
adalah mobilitasnya yang tinggi baik di dalam floem maupun pada larutan tanah,
sehingga diperlukan upaya untuk mengurangi kehilangannya. Salah satu upaya yang
dapat dilakukan adalah dengan menggunakan bahan yang dapat menjerap unsur
tersebut, antara lain zeolit.
Zeolit merupakan
bahan pembenah tanah alami yang dapat mengikat hara yang diberikan melalui
pupuk sehingga mencegah pencucian hara (Al Jabri et al.2011). Pemberian zeolit ke dalam tanah dapat memperbaiki
sifat fisika dan kimia tanah. Zeolit dalam hal ini dapat berfungsi sebagai
pembenah tanah (soil conditioner),
pembawa unsur pupuk, pengontrol pelepasan ion NH4+ (slow release fertilizer) dan menjaga
kelembaban tanah (Sastiono 2004). Penggunaan bahan mineral zeolit dapat
berpengaruh lebih baik terhadap sifat-sifat tanah jika diberikan dengan bahan
organik (Dariah 2007). Pengikatan ion amonium oleh zeolit sifatnya sementara,
dan akan dilepas kembali ke dalam tanah pada saat ion amonium dalam tanah telah
berubah menjadi nitrat (Suwardi dan Darmawan 2009). Penambahan zeolit juga
dapat memperbaiki agregasi tanah sehingga meningkatkan pori udara tanah yang
berakibat merangsang pertumbuhan akar tanaman. Luas permukaan partikel tanah
menjadi bertambah yang berakibat meningkatnya jumlah unsur hara yang dapat
diserap oleh akar tanaman (Putra 2009).
Berdasarkan sifat pupuk nitrogen yang mudah
hilang dan kemampuan zeolit untuk mengikat hara, maka perlu dilakukan
penelitian mengenai jenis pupuk N dan dosis zeolit yang tepat untuk pertumbuhan
dan hasil produksi tanaman kedelai edamame.
1.2
Tujuan
Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui jenis pupuk nitrogen
dan dosis zeolit yang tepat untuk
meningkatkan pertumbuhan dan produksi kedelai edamame.
1.3
Hipotesis
- Terdapat jenis pupuk nitrogen yang tepat untuk pertumbuhan dan produksi kedelai edamame.
- Terdapat dosis zeolit yang tepat untuk pertumbuhan dan produksi kedelai edamame.
- Terdapat pengaruh interaksi antara jenis pupuk nitrogen dan dosis zeolit pada pertumbuhan dan produksi kedelai edamame.
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Sejarah Edamame
Kedelai merupakan tanaman asli Cina yang telah dibudidayakan sejak 2500
tahun SM. Sejalan dengan berkembangnya perdagangan
antarnegara, kedelai tersebar ke berbagai negara tujuan perdagangan yaitu
Jepang, Korea, Indonesia, India, Australia dan Amerika. Awal mula penyebaran
dan pembudidayaan kedelai di Indonesia yaitu di Pulau Jawa, Bali dan Nusa
Tenggara (Irwan 2006).
Edamame berasal
dari bahasa Jepang. Eda berarti
cabang dan mame berarti kacang, dapat
diartikan sebagai buah yang tumbuh di bawah cabang (branched bean). Di Cina edamame dikenal dengan sebutan mao dou (hairy bean) atau kacang berambut (Miles et al. 2000). Orang Eropa terutama Inggris lebih mengenal jenis
kedelai ini dengan nama vegetable soybean
(kedelai sayur) atau green soybean dan sweet soybean. Edamame dapat
didefinisikan sebagai kedelai berbiji sangat besar(>30g/100 biji) yang
dipanen muda dalam bentuk polong segar pada stadia R-6 (berbiji penuh), dan
dipasarkan dalam bentuk segar (fresh
edamame) atau dalam keadaan beku (frozen
edamame) (Benziger dan Shanmugasundaram 1995).
2.2
Kandungan Gizi dan Manfaat Kedelai
Setiap 100 gram kedelai edamame mengandung protein 30,20 g, kalori 286
kal, lemak 15,6 g, kalsium 196 mg, fosfor 506 mg, besi
6,90 mg, vitamin A 95 SI, vitamin B1 0,93 mg, karbohidrat 30,1 g dan air 20 g (Samsu
2001).
Kedelai berperan penting dalam penyediaan bahan pangan bergizi bagi
penduduk dunia, sehingga disebut “ Gold from the soil “ dan disebut juga
“ The world’s miracle “ karena kandungan asam aminonya yang tinggi. Tiap
satu gram asam amino kedelai mengandung 340 mg isoleusin, 480 mg leusin, 400 mg
lisin, 310 mg fenilalanin, 200 mg tirosin, 80 mg metionin, 110 sistin, 250 mg
treonin, 90 mg triptofan dan 330 mg valin. Selain berguna untuk mencukupi
kebutuhan gizi tubuh, kedelai juga berkhasiat sebagai obat beberapa penyakit.
Hasil penelitian di Inggris menunjukkan bahwa kedelai berkhasiat mencegah
kanker dan jantung koroner. Senyawa fenolik dan asam lemak tak jenuh yang
terdapat dalam kedelai dapat menghalangi munculnya bentuk senyawa nitrosiamin
(senyawa karsinogenik penyebab kanker). Di samping itu, kadar lecitin dalam
kedelai juga dapat menghancurkan timbunan lemak dalam tubuh, sehingga secara
tidak langsung dapat menekan penyakit darah tinggi dan diare. Kandungan kalsium
yang tinggi pada edamame dapat menjadikan tulang dan gigi kuat dan membantu
mencegah penyakit jantung dan kanker usus besar. Edamame juga mengandung kadar
zat besi yang cukup tinggi, folate dan vitamin B yang berguna untuk
memperlancar aliran darah dan meningkatkan kandungan oksigen di dalam darah.
Dengan demikian otak dan otot dapat bekerja secara optimal (Samsu 2001).
Kedelai juga dapat meningkatkan metabolisme dan kadar energi,
dan membantu membangun otot dan sel-sel sistem imun. Selain itu,
kedelai edamame juga mengandung
isoflavon. Isoflavon dalam kedelai merupakan antioksidan penangkal radikal
bebas, meningkatkan sistim kekebalan dan menurunkan resiko pengerasan arteri (artherosclerosis) dan tekanan darah
tinggi. Berbagai hasil penelitian yang telah dilakukan di Jepang menyatakan,
bahwa wanita Jepang yang mengkonsumi kedelai secara rutin memiliki resiko
terserang kanker payudara pada tingkat lebih rendah dibandingkan dengan yang
tidak mengkonsumsi kedelai (Stephan 2009).
Oleh karena itu kebutuhan kedelai segar akan terus meningkat seiring dengan
meningkatnya kesadaran masyarakat tentang kesehatan dan makanan bergizi.
2.3
Klasifikasi dan Morfologi Kedelai
Tanaman
kedelai dikenal dengan beberapa nama botani Glycine
soja dan Soja max. Kedelai termasuk dalam kingdom Plantae,
divisi Spermatophyta, sub-divisi Angiospermae, kelas Dicotyledoneae, ordo Rosales, famili Leguminosae,
sub-famili Papilionaceae, genus
Glycine, spesies Glycine max (L.) Merr. (Adisarwanto 2005). Berbagai varietas edamame yang pernah
dikembangkan di Indonesia antara lain Ocunami, Tsuronoko, Tsurumidori, Taiso
dan Ryokkoh. Warna bunga varietas Ryokkoh adalah putih, sedangkan varietas yang
lainnya ungu. Saat ini varietas yang dikembangkan untuk produk edamame beku
adalah Ryokkoh asal Jepang dan R 75 asal Taiwan (Soewanto et al. 2007)
Edamame
merupakan tanaman semusim, tumbuh tegak, daun lebat, dengan beragam morfologi.
Tinggi tanaman edamame berkisar antara 30 sampai lebih dari 50 cm, bercabang
sedikit atau banyak, bergantung pada varietas dan lingkungan hidupnya. Tanaman
kedelai memiliki daun majemuk yang terdiri atas tiga helai anak daun
(trifoliolat) dan umumnya berwarna hijau muda atau hijau kekuning-kuningan
(Irwan 2006). Bentuk daun kedelai ada yang bulat (oval) dan lancip (lanceolate).
Kedua bentuk daun tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik (Andrianto dan Indarto 2004).
Daun pertama yang keluar dari buku sebelah atas kotiledon berupa
daun tunggal yang letaknya berseberangan (anifoliolat).
Daun-daun yang terbentuk kemudian adalah daun-daun trifoliolat (Soewanto et al.
2007).
Tanaman kedelai memiliki sistem
perakaran tunggang, yang bercabang membentuk akar sekunder. Selain itu kedelai
juga seringkali membentuk akar adventif yang
tumbuh dari bagian bawah hipokotil. Akar tunggang pada kedelai umumnya tumbuh
mencapai kedalaman 30-50 cm, bahkan dapat mencapai 2 meter pada kondisi tanah
yang optimal. Akar sekunder tumbuh mencapai 20-30 cm ke dalam tanah. Pada akar
cabang terdapat bintil akar yang merupakan simbiosis bakteri Rhizobium dengan
tanaman kedelai, bintil akar berfungsi untuk menambat N2 dari udara
bebas (Andrianto dan Indarto 2004).
Pertumbuhan
batang kedelai memiliki dua tipe yaitu determinate dan indeterminate. Perbedaan
sistem pertumbuhan batang ini didasarkan atas keberadaan bunga pada pucuk
batang. Pertumbuhan batang tipe determinate dicirikan dengan tidak tumbuhnya
lagi batang setelah tanaman mulai berbunga, sedangkan tipe indeterminate
dicirikan dengan masih tumbuhnya batang dan daun setelah tanaman berbunga (Adisarwanto 2005).
Selain itu terdapat varietas tanaman kedelai hasil persilangan yang mempunyai
tipe batang yang mirip keduanya sehingga dikategorikan sebagai semi-determinate
atau semi-indeterminate (Irwan 2006).
Kedelai berbunga
sempurna, yaitu memiliki benang sari dan putik dalam satu bunga. Mahkota bunga
akan rontok sebelum membentuk polong (Rukmana dan Yuniarsih 1996). Bunga
kedelai menyerupai kupu-kupu, berwarna
putih atau ungu. Tangkai bunga umumnya tumbuh dari
ketiak daun. Jumlah bunga pada setiap ketiak daun beragam antara 2-25 bunga
bergantung pada kondisi lingkungan tumbuh dan varietas. Bunga kedelai pertama pada umumnya terbentuk pada buku ke lima, ke enam, atau pada buku
yang lebih tinggi. Periode
berbunga pada tanaman kedelai cukup lama yaitu 3-5 minggu untuk daerah
subtropik dan 2-3 minggu di daerah tropik
(Departemen Pertanian 1989). Tanaman kedelai di
Indonesia mulai berbunga pada umur 30-50 hari setelah tanam (Fahrudin 2000).
Polong kedelai
terbentuk 7-10
hari setelah munculnya bunga mekar. Jumlah polong yang terbentuk pada setiap
ketiak daun beragam antara
1-10 polong. Jumlah polong
pada setiap tanaman dapat
mencapai lebih dari 50 bahkan
ratusan. Kulit polong kedelai berwarna hijau, sedangkan biji
bervariasi dari kuning, hijau sampai hitam. Pada setiap polong terdapat
biji yang berjumlah 1, 2 dan 3 biji, polong kedelai berukuran 5,5 cm sampai 6,5 cm bahkan ada yang mencapai 8 cm.
Biji berdiameter antara 5 mm sampai 11 mm (Andrianto dan Indarto
2004).
Berdasarkan
ukuran bijinya, kedelai dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok:
- Berbiji kecil, bobot biji 6-15 g/100 biji, umumnya dipanen dalam bentuk biji (grain soybean), pada saat tanaman berumur tiga bulan.
- Berbiji besar, dengan bobot biji 15-29 g/100 biji, ditanam di daerah tropik maupun subtropik, dipanen dalam bentuk biji. Hasil biji umumnya digunakan sebagai bahan baku minyak, susu dan makanan lain.
- Berbiji sangat besar, bobot 30-50 g/100 biji, biasanya ditanam di daerah subtropik, seperti Jepang, Taiwan dan Cina. Kedelai dipanen dalam bentuk polong segar masih berwarna hijau, disebut juga kedelai sayur (vegetable soybean), dipanen pada umur dua bulan. Kelompok kedelai ini di Jepang disebut edamame (Chen et al. 1991).
Persyaratan
kedelai edamame lebih ditekankan kepada ukuran polong muda (lebar 1,4-1,6 cm,
dan panjang 5,5-6,5 cm), warna biji kuning hingga hijau, bentuk biji bulat
hingga bulat telur dan warna hillum gelap hingga terang (Shanmugasundaram et al. 1991).
2.2 Syarat Tumbuh
Pertumbuhan tanaman kedelai sangat
dipengaruhi oleh curah hujan, radiasi matahari dan suhu (Baharsjah 1993).
Tanaman kedelai cocok ditanam di lahan terbuka pada
suhu 24-30 0C. Suhu yang optimal dalam proses perkecambahan kedelai
sekitar 30°C, sedangkan untuk pembungaan
24 -25°C. Kedelai termasuk tanaman hari pendek sehingga tidak akan berbunga
bila panjang hari melebihi batas kritis yaitu 15 jam perhari. Jika varietas
kedelai yang berproduksi tinggi dari daerah subtropik dengan panjang hari 14-16
jam, ditanam di daerah tropik dengan rata-rata panjang hari 12 jam maka
varietas tersebut akan mengalami penurunan produksi, karena masa bunganya
menjadi pendek yaitu dari umur 50 hari-60 hari menjadi 35 hari sampai 40 hari
setelah tanam (Rubatzky dan Yamaguchi 1998).
Di Indonesia, tanaman kedelai dapat
tumbuh dengan baik di daerah dataran rendah sampai daerah dengan ketinggian
1200 m dari atas permukaan laut (Fachruddin 2000). Akan tetapi, umumnya pertumbuhan tanaman kedelai akan baik pada pada ketinggian tidak lebih dari
500 meter di atas permukaan laut.
Kedelai dapat tumbuh baik pada tanah-tanah
alluvial, regosol, grumosol, latosol, dan andosol. Selain itu kedelai menghendaki
tanah yang subur, gembur dan kaya bahan organik, dengan keasamaan tanah (pH)
yang cocok berkisar antara 5,8-7,0
(Nazzarudin 1993).
2.3 Hama dan Penyakit
Hama pada tanaman kedelai terbagi
kedalam dua kelompok stadia pertumbuhan tanaman yaitu stadia vegetatif dan
stadia generatif (pembungaan dan pembuahan). Hama yang menyerang pada stadia
vegetatif adalah lalat daun, kutu daun, thrips dan tungau. Pada stadia
generatif hama yang menyerang adalah ulat penggerek polong. Pengendalian hama
dilakukan dengan cara pemeriksaan rutin dan penyemprotan pestisida (Kirana et al. 2012)
Penyakit
pada tanaman kedelai biasanya timbul pada stadia vegetatif yaitu penyakit karat,
embun tepung dan penyakit yang ditimbulkan oleh bakteri. Pengendalian penyakit
ini dilakukan melaui pemeriksaan rutin, eradikasi, penyemprotan fungisida atau
biopestisida (Kirana et al. 2012).
2.4
Pupuk Nitrogen
Nitrogen
merupakan salah satu unsur hara yang sangat penting bagi tanaman. Tanaman dapat
menyerap unsur hara nitrogen dalam bentuk protein (bahan organik),
senyawa-senyawa amino, nitrat (NO3-) dan amonium (NH4+)
(Hardjowigeno 2003)
Tanaman kedelai
dapat memperoleh hara N dari tanah, dari pupuk (organik dan anorganik) yang
ditambahkan, maupun dari N udara melalui fiksasi bakteri Rhizobium sp. dalam bintil akar kedelai. Dengan demikian tanaman
legum dapat menyediakan pupuk N sendiri bahkan dapat memberi kontribusi pada
tanaman disekitarnya atau tanaman kompanionnya (Purwantari 2008). Pada kondisi
optimum, 60% kebutuhan N kedelai dapat dipenuhi dari mekanisme fiksasi N-udara
oleh bakteri Rhizobium sp dalam
bintil akar tersebut (Balitkabi
2012). Akan tetapi untuk mendapatkan pertumbuhan dan hasil yang maksimum
tanaman kedelai masih memerlukan penambahan nitrogen yang diberikan melalui
pemupukan (Baharsjah, 1983).
Meskipun demikian, hasil tanaman kacang berbiji biasanya tidak dapat
ditingkatkan dengan pupuk nitrogen, sebab penambatan N2 menurun
sejalan dengan penambahan jumlah pupuk nitrogen yang diserap. Untuk pupuk
nitrat, penurunan ini akibat dari penghambatan penempelan rhizobium ke bulu
akar, pengguguran benang infeksi, penurunan laju pertumbuhan bintil,
penghambatan penambatan di dalam bintil yang telah terbentuk dan kematian
bintil akar yang lebih cepat bila NO3- atau NH4+
ditambahkan (Robertson dan Farnden 1980; Streeter 1988).
Pemupukan
nitrogen berfungsi dalam memperbaiki pertumbuhan vegetatif tanaman, pembentukan protein, klorofil, asam nukleat dan mengaktifkan koenzim
(Hardjowigeno 2003), membentuk lemak dan berbagai persenyawaan organik lainnya
(Lingga dan Marsono 2000). Protein merupakan penyusun utama protoplasma.
Sebagian protein berfungsi sebagai enzim yang penting dalam proses metabolisme.
Pemupukan nitrogen juga membantu tanaman untuk menyerap unsur hara lain,
seperti kalium dan fosfor, merangsang tumbuhnya tunas, menambah tinggi tanaman,
mengaktifkan pertumbuhan mikroba agar proses penghancuran bahan organik
berjalan lancar (Jumin 2005).
Nitrogen lebih
berperan dalam meningkatkan bagian protoplasma dibandingkan bagian bahan
dinding sel, sehingga ukuran sel dan ketebalan dinding sel meningkat. Hal ini
menyebabkan daun dan batang tanaman lebih sukulen dan kurang keras. Kandungan
nitrogen yang tinggi menjadikan pertumbuhan vegetatif yang hebat, sukulen,
tanaman mudah rusak, daun lebih hijau dan bertahan lama, sehingga untuk
sejumlah tanaman menyebabkan keterlambatan pematangan (dalam kondisi lingkungan
yang tidak menguntungkan, produksi tanaman bisa gagal). Selain itu nitrogen
juga kadang menahan pertumbuhan akar, membantu dalam produksi biji dan
meningkatkan kandungan protein buah atau biji (Poerwowidodo 1992; Nyakpa et al. 1988).
Tanaman yang
kekurangan nitrogen akan menampakkan pertumbuhan kerdil, pertumbuhan akar
terbatas, daun-daun kuning dan gugur (Hardjowigeno, 2003). Kekahatan senyawa
protein juga menaikkan nisbah C/N dan meningkatkan kandungan selulosa dan
lignin. Membran sel yang menebal dan meningkatnya jaringan-jaringan berlignin,
menyebabkan terjadinya pematangan lebih awal (Poerwowidodo 1992).
Bentuk pupuk N
yang biasa digunakan adalah urea, ZA, NPK dan kompos. Pupuk urea memiliki rumus
kimia CO(NH2)2, berbentuk kristal berwarna putih,
memiliki kadar N tinggi (45-46 %), sehingga lebih ekonomik dibanding pupuk N
lain. Pupuk urea bersifat higroskopik, yang mulai menarik uap air pada
kelembaban nisbi udara 73%. Reaksi fisiologi urea agak masam dan untuk dapat
diserap oleh tanaman, nitrogen dalam urea harus diubah dulu menjadi amonium
dengan bantuan enzim tanah urease melalui proses hidrolisis:
CO(NH2)2
+2H2O (NH4)2 CO3
Bila urea diberikan ke tanah proses
hidrolisis tersebut berlangsung cepat, sehingga mudah menguap sebagai amonia.
Amonium sulfat
(ZA) memiliki rumus kimia (NH4)2 SO4,
berbentuk kristal, berwarna putih, abu-abu, kebiru-biruan dan kuning. Kadar N
amonium sulfat sekitar 20,5 – 21,0 %, tidak higroskopik, reaksi fisiologi
masam, mudah larut dalam air dan cepat bekerjanya (Leiwakabessy dan Sutandi
2004).
NPK (15-15-15)
merupakan pupuk majemuk lengkap karena mengandung tiga unsur hara utama yaitu
15% N, 15% P2O5 dan 15% K2O. Bentuk pupuk NPK
berupa butiran yang sangat higroskopik, karena N nya dalam bentuk amonium dan
nitrat. Kecepatan reaksi NPK tergolong sedang, dapat digunakan sebelum atau sesudah
tanam, reaksi fisiologi sedang sampai agak masam (Hardjowigeno 2003). Pemakaian
pupuk majemuk NPK akan memberi suplai N yang
cukup besar kedalam tanah. Wasis dan Fathia (2011) melaporkan bahwa pupuk NPK
berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman Gmelina arborea Roxb..
Kompos adalah
bahan organik yang dibusukkan pada suatu
tempat yang terlindung dari matahari dan hujan, dan kelembabannya diatur dengan
menyiram air bila terlalu kering. Bahan untuk kompos bisa berupa sampah, atau
sisa-sisa tanaman tertentu (Hardjowigeno 2003). Pengomposan dapat meningkatkan
ketersediaan unsur hara bagi tanaman, melalui pengubahan bentuk dari tidak
tersedia menjadi tersedia. Pengomposan juga dapat meningkatkan kadar hara N, P,
K, Ca dan Mg, menurunkan rasio C/N dan kadar air (Hartatik dan Widowati 2006).
Pemberian 60 g kompos pada 2 kg tanah pot-1
nyata menaikan hasil tanaman bayam (Subhan 1992). Menurut Alvarez et al. (1995), kompos berpengaruh secara
langsung dengan melepas hara yang dikandungnya dan secara tidak langsung dengan
mempengaruhi kapasitas tukar kation yang mempengaruhi serapan hara.
Kompos di dalam
tanah dapat berpengaruh positif yaitu dapat merangsang pertumbuhan (kompos dari
limbah peternakan ayam, sapi dan domba) atau negatif yaitu menghambat
pertumbuhan tanaman (kompos dari peternakan babi). Menurut Melati (1990) dan Seviana (2003) pemberian
pupuk kandang ayam dapat meningkatkan produksi kedelai. Pemberian pupuk 10
ton ha-1 pupuk kandang ayam
dapat meningkatkan pertumbuhan vegetatif dan produksi kedelai organik.
Interaksi antara pupuk kandang 10
ton
ha-1 dan pupuk hijau berpengaruh terhadap bobot basah bintil akar
dan bobot basah 100 butir kedelai (Melati dan Andriyani 2005).
2.5 Zeolit
Zeolit pertama kali ditemukan oleh seorang ahli mineral bangsa Swedia,
Baron Axel Fredrik Crondstedt pata tahun 1756 (Hardjanto 1983). Zeolit
merupakan kristalin alumina silikat dengan kerangka anoniak kaku, terdiri dari
kanal dan rongga. Struktuk zeolit yang porous
(berpori-pori mikro) menyebabkan zeolit mampu menyerap molekul lain yang
ukurannya lebih kecil dari pori-pori mikro, sedangkan bahan yang ukurannya
lebih besar tidak dapat lolos dari pori-pori tersebut. Manfaat zeolit dalam
kehidupan yaitu sebagai agen pendehidrasi, penukar ion (ion exchanger), penyerap bau, penyerap molekul polutan, sebagai
katalis dan pengatur sistem pemupukan tanaman. Sebagai pengatur sistem
pemupukan, zeolit akan menampung pupuk dalam rongga-rongga kanalnya, melepas
untuk tanaman secara bertahap, sehingga lebih efektif dan efisien, serta tidak mudah
larut oleh air (Trisunaryati 2009).
Zeolit mempunyai kemampuan menyerap dan
melepas air secara bolak balik dan menyerap kation tanpa mengubah strukturnya,
serta mempunyai kapasitas tukar kation yang tinggi (Usri 1991). Selain itu
zeolit juga berfungsi sebagai stabilisator dalam meningkatkan efisiensi
penggunaan pupuk (Trisunaryati 2009). Zeolit
yang dicampur dengan pupuk urea mampu mengikat ion amonium yang dilepas urea
pada saat penguraian. Rongga zeolit yang berukuran 2-8 Angstrom sesuai dengan
ukuran ion amonium. Pemberian zeolit yang diikuti pupuk anorganik dan pupuk
organik dapat meningkatkan efisiensi serapan hara pupuk. Pemberian zeolit dan
pupuk organik secara bersama-sama sebagai pembenah tanah dapat memperbaiki
struktur dan stabilitas agregat tanah, meningkatkan KTK sehingga dapat mencegah
pencucian unsur hara dalam tanah dan meningkatkan hara yang diserap tanaman
(Al-Jabri et al.2011). Penambahan bahan zeolit dapat meningkatkan kapasitas penyerapan
unsur hara N, P dan K 21% lebih tinggi dibandingkan tanpa aplikasi zeolit
(kontrol petani) serta meningkatkan kapasitas
menahan air
(kelembaban tanah), terutama pada tanah
berpasir (Riyanto et al. 2004). Zeolit dapat
mempertahankan kelembaban tanah yang lebih lama (Al-Jabri 2009)
Pengikatan akan
lebih efektif jika zeolit yang ditambahkan yang dicampurkan ke dalam pupuk urea
lebih banyak karena komplek jerapan dan rongga dapat menangkap ion amonium
semakin banyak. Di lain pihak zeolit yang terlalu banyak dapat mengikat nitrogen
semakin kuat (Al-Jabri 2009). Penelitian Suwardi dan Darmawan (2009) menunjukan
campuran urea zeolit dan asam humat mampu memperlambat pelepasan nitrogen
menjadi nitrat. Kehilangan pupuk yang diakibatkan oleh penguapan dan pencucian
menjadi lebih sedikit sehingga tanaman padi Ciherang mempunyai kesempatan
menyerap nitrogen lebih banyak. Menurut Estiaty
et al. (2006) zeolit tidak hanya
berperan dalam meningkatkan efisiensi pupuk N, tetapi bersama-sama dengan pupuk
kandang juga meningkatkan ketersediaan P dan K dalam tanah.
Al-Jabri (2009) dan Soewardi
(1996) melaporkan bahwa pemberian zeolit mampu meningkatkan efisiensi pemupukan
urea, KCl dan Ponska. Struktur zeolit yang berpori-pori dengan permukaan yang
bermuatan negatif dapat mengurangi pencucian hara NH4+ dari urea dan
K+ dari KCl atau pupuk ponska di daerah perakaran. Unsur-unsur hara
tersebut akan tertahan atau tinggal lebih lama di daerah perakaran sehingga terjadi efisiensi penggunaan pupuk urea, KCl atau
ponska.
Zeolit mengandung ion Na, K, Mg dan Ca yang dapat dipertukarkan, memiliki
stabilitas termal yang tinggi, harganya murah serta keberadaannya cukup
melimpah (Syafi’i et al 2010). Di bidang pertanian zeolit dapat berperan memperbaiki kualitas tanah dan
meningkatkan produksi. Zeolit dapat mempercepat pertumbuhan tanaman tomat, meningkatkan
jumlah dan intensitas warna hijau dan dapat meningkatkan tangkai buah, sehingga
mampu meningkatkan hasil sampai 35%. Zeolit juga memberikan peningkatan hasil
yang baik pada tanaman kedelai (19 %), jagung (11 %)dan kacang tanah (18 %)
(Suwardi 2007). Pemberian 1750 kg ha-1 zeolit mampu
meningkatkan produksi kering kedelai sebesar 20% dibanding tanpa zeolit
(Ernawanto et al. 2010).
Aplikasi zeolit
berbeda dengan bahan pembenah tanah lainnya, seperti kapur pertanian dan
gipsum, karena zeolit tidak mengalami degradasi sehingga jumlahnya relatif
tetap dalam tanah. Aplikasi zeolit berikutnya lebih memperbaiki kemampuan tanah untuk menahan unsur hara dan
memperbaiki hasil. Zeolit tidak asam dan penggunannya dengan pupuk dapat
menyangga pH tanah sehingga mengurangi takaran kapur (Al-Jabri 2009)..
Hasil penelitian menunjukkan
pemberian zeolit dapat meningkatkan hasil padi. Konsentrasi N dan K yang
diserap tanaman padi tertinggi pada umur 6 MST pada perlakuan zeolit 125 kg/ha.
Serapan N menurun seiring makin tingginya takaran zeolit. Hal ini menunjukan
semakin banyak N yang memasuki pori-pori zeolit dan akan dilepaskan kembali
secara perlahan untuk diserap tanaman (Al-Jabri 2009).
III METODOLOGI
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari 2013 sampai dengan April 2013, di Kebun Percobaan Jurusan
Agroteknologi Universitas Djuanda, Ciawi-Bogor.
Bahan yang
digunakan dalam penelitian ini meliputi benih kedelai edamame varietas Ryokoh,
Urea (45%N), ZA (21 % N), NPK
(15-15-15), kompos (2,25 % N), SP-36 (36% P2O5), KCl (60%
K2O), fungisida, insektisida dan zeolit . Alat yang digunakan dalam
penelitian ini meliputi polibeg, pisau, timbangan analitik dan digital, meteran,
emrat dan oven.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dengan dua faktor. Faktor pertama adalah
jenis pupuk nitrogen yang terdiri atas
empat taraf yaitu N1 = Urea (45%N) sebanyak 0,8 g/tan, N2 = Amonium
Sulfat (21%N) sebanyak 1,8 g/tan, N3 = NPK (15%N) sebanyak 2,5 g/tan dan N4 = kompos
(2,25 % N) sebanyak 16,7 g/tan, dosis N pada tiap jenis pupuk adalah 0,375
g/tan (Kirana et al. 2012). Faktor
kedua adalah dosis zeolit yang terdiri atas empat taraf yaitu Z0 (tanpa
zeolit),
Z1
(4 g/tan),
Z2
(7 g/tan)
dan Z3 (10 g/ tan).
Model statistik Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial adalah sebagai
berikut:
Keterangan :
Yijk =
nilai pengamatan karena pengaruh jenis pupuk nitrogen taraf
ke-i dan dosis zeolit yang diberikan
ke-j, ulangan ke-k
i =
taraf dari jenis
pupuk nitrogen
j =
taraf dari dosis
zeolit
k =
ulangan
=
nilai tengah umum (dari semua perlakuan)
Ni = nilai pengaruh dari jenis pupuk nitrogen ke-i
Zj = nilai pengaruh dari dosis zeolit ke-j
(NZ)ij = Pengaruh
interaksi taraf ke-i dari faktor jenis pupuk nitrogen dan taraf ke-j faktor
dosis
zeolit
ijk = Pengaruh galat
ulangan ke-k yang mendapat kombinasi perlakuan
taraf ke-i jenis pupuk nitrogen dan taraf ke-j
dosis zeolit
Untuk melihat pengaruh dari masing-masing perlakuan
percobaan dilakukan sidik ragam (Uji F), bila berpengaruh nyata dilakukan Uji
Jarak Ganda Duncan (DMRT) pada taraf nyata 5%.
3.4
Pelaksanaan Penelitian
3.4.1
Persiapan Media Tanam
Tanah yang digunakan dalam
penelitian ini adalah tanah top soil pada kedalaman 0-20 cm dari permukaan tanah
yang diambil langsung dari Kebun Percobaan Agroteknologi Universitas Djuanda
Bogor. Tanah dikeringkan selama tiga hari di dalam green house, kemudian disaring dengan menggunakan ayakan yang
berdiameter 1 cm agar didapat tanah yang homogen. Tanah yang telah diayak
dimasukkan ke dalam polibag berukuran 35 cm x 35 cm, sebanyak 8 kg/ polibag.
Zeolit yang digunakan berbentuk granul, diberikan seminggu sebelum tanam dengan
cara dicampur dengan tanah.
3.4.2
Pemupukan
Pemberian pupuk N dan KCl dilakukan
dua kali yaitu pada saat tanam dan umur
4 MST, masing-masing setengah dosis. Pemupukan TSP diberikan satu kali pada
saat tanam.
3.4.3
Penanaman
Benih kedelai ditanam pada
lubang dengan kedalaman 3-4 cm dengan
jarak antar polibag 20 cm x 20 cm. Setiap lubang ditanam dua benih kedelai.
Bersamaan dengan penanaman diberikan Furadan 3G dengan dosis 0.3 gram/tanaman.
Penyulaman dilakukan pada tanaman berumur 1 minggu setelsh tanam (MST) sampai
dengan umur 2 MST
3.4.4
Pemeliharaan
Pengendalian hama dan penyakit
mulai dilakukan pada minggu kedua. Pengendalian juga dilakukan sewaktu- waktu,
apabila terjadi serangan hama dan penyakit yang mencolok. Pengendalian hama
penyakit ini menggunakan insektisida, fungisida dan sex feromonoid, sedangkan pengendalian gulma dilakukan secara
manual dengan cara dicabut dan menggunakan kored.
3.4.5 Panen
Panen
dilakukan secara bertahap pada umur 3 MST, 6 MST, 8 MST dan 10 MST. Panen pada umur
3 MST dan 6 MST bertujuan untuk mengamati pertumbuhan bintil akar. Pada umur 8
MST, merupakan panen polong pertama dan panen polong ke-dua (terakhir)
dilakukan pada umur 10 MST.
3.4.6
Pengamatan
Peubah yang
diamati antara lain:
- Tinggi tanaman, diukur dari leher akar hingga titik tumbuh tertinggi. Pengukuran dilakukan setiap minggu, mulai 2 MST sampai dengan 5 MST.
- Jumlah daun, dihitung daun trifoliolat dilakukan setiap minggu, mulai dari 2 MST sampai dengan 5 MST.
- Luas daun contoh, diukur pada saat tanaman berumur 8 MST dengan metode gravimetri.
- Jumlah polong, dihitung pada saat panen umur 6, 8 dan 10 MST.
- Jumlah polong berbiji 1, 2 dan 3, dihitung pada saat panen
- Persentase polong isi (PPI), dihitung pada saat panen. Rumus yang digunakan adalah
- Bobot polong per tanaman (segar dan kering), Penghitungan bobot polong pertanaman dilakukan pada saat panen (untuk polong segar) pada umur 6, 8 dan 10 MST.
- Bobot basah tanaman total, dihitung pada umur 3, 6 dan 10 MST.
- Bobot basah akar, dihitung pada umur 3, 6 dan 10 MST.
- Bobot basah tajuk, diukur pada umur 3, 6 dan 10 MST.
- Jumlah dan bobot bintil akar, dihitung berdasarkan jumlah bintil akar yang terbentuk, tanpa memperhatikan ukuran bintil.
- Pengukuran bobot kering dilakukan setelah bahan di oven pada suhu 1050 C selama 10 jam.
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kedaan Umum
Selama penelitian berlangsung rata-rata suhu harian
berkisar antara 20 0C
sampai 33 0C,
dengan kelembaban udara antara 57
%
sampai 91 %.
Kondisi ini masih dalam kisaran syarat tumbuh kedelai, sehingga secara umum
tanaman dapat tumbuh baik / normal.
Pada umur 1 minggu setelah tanam (MST), beberapa tanaman
edamame terserang hama belalang yang menyerang bagian batang dan daun, yang menyebabkan sebagian tanaman
patah dan daunnya rusak. Pengendalian hama
belalang dilakukan secara kimiawi menggunakan insektisida
kontak agar serangan hama tidak meluas terhadap tanaman
lainnya. Pada umur 2 dan 3 MST, beberapa tanaman kedelai edamame terserang hama ulat penggulung
daun (Hedylepta
indicata) dan
pelipat daun. Serangan hama penggulung daun menyebabkan
daun menjadi tergulung dan rusak, sedangkan ulat pengerat daun memakan klorofil. Pengendalian hama dilakukan secara manual
dengan memotong daun tanaman yang terserang dan secara kimiawi menggunakan
insektisida kontak.
Tanaman
sudah 50% berbunga pada umur 30 hari setelah tanam (HST). Periode pembungaan
terjadi mulai 27 HST sampai 56 HST. Pada saat tanaman berbunga dan membentuk
polong, tanaman diserang hama belalang, walangsangit, lalat buah, kepik hijau (Nezera
viridula),
kutu daun (Aphis glicines matsumura)
dan ulat buah (Helicoverpa armigera). Pengendalian hama
tersebut dilakukan secara manual, dan kimiawi menggunakan insektisida kontak
Curacron 500 EC (berbahan aktif profenofos 500 g/l ), dengan konsentrasi 1 ml/l
air dan dilakukan dengan cara disemprot. Lalat buah dapat dikendalikan dengan
perangkap hama (sex feromonoid).
4.2. Hasil
4.2.1. Tinggi tanaman
Hasil
sidik ragam ( Lampiran 1 ) menunjukkan tinggi tanaman dipengaruhi oleh dosis
zeolit (pada umur 3-5 MST), tetapi tidak dipengaruhi oleh jenis pupuk N dan
interaksi antara jenis pupuk N dan dosis zeolit. Pada umur 3-5 MST tinggi
tanaman kedelai edamame yang diberi
zeolit dengan dosis 10 g/tan nyata lebih rendah dibandingkan dengan yang diberi
zeolit 0 g/tan, 4 g/tan dan 10 g/tan (Tabel 1).
Tabel
1 Tinggi tanaman edamame umur 2, 3, 4, dan 5 MST pada berbagai dosis zeolit
dan jenis pupuk N
Perlakuan
|
Tinggi tanaman (cm)
|
|||
2 MST
|
3 MST
|
4 MST
|
5 MST
|
|
Jenis Pupuk N
|
||||
Urea
|
14.04
|
20.68
|
30.86
|
37.08
|
ZA
|
14.23
|
21.55
|
32.31
|
39.60
|
NPK
|
13.99
|
20.78
|
30.60
|
36.28
|
Kompos
|
14.30
|
21.36
|
32.46
|
37.28
|
Dosis Zeolit (g/tan)
|
||||
0
|
14.61
|
21.88 b
|
31.88 b
|
39.11 b
|
4
|
14.24
|
21.85 b
|
33.46 b
|
38.92 b
|
7
|
14.13
|
21.60 b
|
33.42 b
|
39.17 b
|
10
|
13.60
|
19.06 a
|
27.46 a
|
33.03 a
|
Keterangan :
Nilai rata-rata pada kolom yang sama
diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada
taraf 5 %.
|
4.2.2. Jumlah daun
Hasil sidik ragam ( Lampiran 2 )
menunjukkan jumlah daun tanaman kedelai edamame dipengaruhi oleh dosis zeolit
(pada umur 3-5 MST), tetapi tidak dipengaruhi oleh jenis pupuk N dan interaksi
antara jenis pupuk N dan dosis zeolit.
Jenis pupuk N tidak menyebabkan
perbedaan jumlah daun, demikian juga
dosis zeolit pada umur 2 MST. Tanaman yang diberi
zeolit 10 g/tan menunjukkan jumlah daun nyata lebih rendah dibandingkan dengan tanaman yang diberi
zeolit lebih rendah (Z0, Z1 dan Z2), tetapi pada umur 5 MST tidak berbeda nyata
dengan yang diberi zeolit 7 g/tan (Tabel 2).
Tabel
2 Jumlah daun edamame umur 2, 3, 4, dan 5 MST pada berbagai dosis zeolit dan
jenis pupuk N
Perlakuan
|
Jumlah daun
|
|||
2 MST
|
3 MST
|
4 MST
|
5 MST
|
|
Jenis Pupuk N
|
||||
Urea
|
1.00
|
2.46
|
5.47
|
10.94
|
ZA
|
1.10
|
2.75
|
6.14
|
12.03
|
NPK
|
1.00
|
2.62
|
5.61
|
10.39
|
Kompos
|
1.06
|
2.65
|
6.03
|
11.28
|
Dosis Zeolit (g/tan)
|
||||
0
|
1.04
|
2.75 b
|
5.94 bc
|
12.11 b
|
4
|
1.02
|
2.81 b
|
6.69 c
|
11.77 b
|
7
|
0.98
|
2.58 b
|
5.83 b
|
10.91 ab
|
10
|
1.12
|
2.33 a
|
4.78 a
|
9.83 a
|
Keterangan :
Nilai rata-rata pada kolom yang sama
diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada
taraf 5 %.
|
4.2.3. Luas daun
Hasil
sidik ragam ( Lampiran 3 ) menunjukkan interaksi jenis pupuk N dan dosis zeolit
berpengaruh terhadap luas daun tanaman kedelai edamame. Tanaman kedelai edamame
yang tidak diberi pupuk N
menunjukkan luas daun tidak berbeda nyata pada berbagai dosis zeolit. Sementara
pada tanaman kedelai yang dipupuk ZA, luas daun tanaman yang diberi zeolit 10
g/tan nyata lebih besar dibandingkan yang diberi zeolit dengan dosis lebih
rendah. Luas daun tanaman kedelai yang diberi pupuk NPK dengan zeolit 10 g/tan
nyata lebih rendah dibandingkan tanpa diberi zeolit, tetapi tidak berbeda nyata
dengan yang diberi 4 dan 7 g zeolit /tan. Tanaman kedelai yang diberi pupuk
kompos dengan zeolit 7 g/tan nyata lebih
tinggi dibanding tanpa diberi zeolit. Tanaman kedelai yang diberi zeolit 10
g/tan dengan pupuk ZA nyata memiliki luas daun lebih lebar dibanding dengan
yang diberi pupuk urea, NPK dan kompos (Tabel 3 ).
Tabel 3 Luas daun edamame pada berbagai
kombinasi dosis zeolit dan jenis pupuk N
Perlakuan
|
Dosis Zeolit (g/tan)
|
|||
Jenis pupuk N
|
0
|
4
|
7
|
10
|
Urea
|
131.25 abc
|
140.75 bc
|
120.84 abc
|
109.52 ab
|
ZA
|
113.60 ab
|
141.20 bc
|
143.02 bc
|
189.18 d
|
NPK
|
134.42 bc
|
112.24 ab
|
125.37 abc
|
85.99 a
|
Kompos
|
108.17 ab
|
117.67 abc
|
162.02 cd
|
119.03 abc
|
Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5 %. |
4.2.4. Panjang akar
Hasil sidik ragam ( Lampiran 4 )
menunjukkan perlakuan jenis pupuk N, dosis zeolit dan interaksi antara jenis
pupuk N dan dosis zeolit tidak berpengaruh nyata terhadap panjang akar
. Dengan demikian tidak ada perbedaan panjang akar pada berbagai jenis pupuk N
dan dosis zeolit yang berbeda (Tabel 14).
Tabel
4 Panjang akar edamame umur 3, 6 dan 10 MST pada berbagai dosis zeolit dan
jenis pupuk N
Perlakuan
|
Panjang akar (cm)
|
||
3 MST
|
6 MST
|
10 MST
|
|
Jenis Pupuk N
|
|||
Urea
|
32.61
|
52.33
|
54.42
|
ZA
|
36.04
|
52.25
|
55.00
|
NPK
|
35.25
|
51.58
|
56.08
|
Kompos
|
38.04
|
51.50
|
50.75
|
Dosis Zeolit (g/tan)
|
|||
0
|
32.77
|
47.67
|
54.33
|
4
|
37.42
|
52.83
|
54.25
|
7
|
32.42
|
56.25
|
57.83
|
10
|
39.33
|
50.92
|
49.83
|
Keterangan : Nilai rata-rata pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5 %. |
4.2.5. Bobot basah
akar
Hasil sidik ragam ( Lampiran 5 )
menunjukkan jenis pupuk N (pada umur 3 MST) dan dosis zeolit (3 dan 10 MST)
sangat berpengaruh nyata terhadap bobot akar, tetapi interaksi antara jenis
pupuk N dan dosis zeolit tidak berpengaruh nyata terhadap bobot akar.
Pada umur 3 MST, tanaman kedelai
edamame yang diberi pupuk kompos menunjukan bobot akar nyata lebih besar
dibandingkan tanaman kedelai yang di pupuk urea dan ZA, tetapi tidak berbeda nyata
dengan yang diberi pupuk NPK. Pada umur 3 dan 6 MST, tanaman kedelai edamame
yang diberi zeolit 10 g/tan nyata lebih rendah dibanding dengan yang diberi
zeolit dengan dosis lebih rendah tetapi tidak berbeda nyata dengan yang diberi
zeolit 7 g/tan pada umur 3 MST (Tabel 5).
Tabel 5 Bobot basah
akar umur 3, 6 dan 10 MST pada berbagai dosis zeolit dan jenis pupuk N
Perlakuan
|
Bobot basah akar (g)
|
|||
3 MST
|
6 MST
|
10 MST
|
||
Jenis Pupuk N
|
||||
Urea
|
2.60 a
|
12.71
|
18.93
|
|
ZA
|
2.75 a
|
15.57
|
20.25
|
|
NPK
|
3.07 ab
|
14.49
|
15.66
|
|
Kompos
|
3.82 b
|
15.50
|
17.86
|
|
Dosis Zeolit (g/tan)
|
||||
0
|
3.38 b
|
16.42 b
|
19.47
|
|
4
|
3.54 b
|
18.47 b
|
18.00
|
|
7
|
2.84 ab
|
15.32 b
|
22.11
|
|
10
|
2.48 a
|
8.06 a
|
13.12
|
|
Keterangan :
Nilai rata-rata pada kolom yang sama
diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada
taraf 5 %.
|
4.2.6. Jumlah
bintil
Hasil sidik ragam ( Lampiran 6 )
menunjukkan perlakuan dosis zeolit sangat berpengaruh nyata pada umur 3 MST,
tetapi jenis pupuk N dan interaksi antara jenis pupuk N dan dosis zeolit tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah bintil.
Tanaman kedelai edamame yang diberi
10 g zeolit/
tan pada umur 3 MST menunjukkan jumlah bintil nyata lebih banyak
dibandingkan tanaman kedelai yang diberi
zeolit pada dosis yang lebih rendah (Tabel 6).
Tabel
6 Jumlah bintil umur 3, 6 dan 10 MST pada berbagai dosis zeolit dan jenis
pupuk N
Perlakuan
|
Jumlah bintil
|
||
3 MST
|
6 MST
|
10 MST
|
|
Jenis Pupuk N
|
|||
Urea
|
40.67
|
138.25
|
158.75
|
ZA
|
36.42
|
123.42
|
167.25
|
NPK
|
28.75
|
131.83
|
161.42
|
Kompos
|
30.33
|
158.33
|
165.25
|
Dosis Zeolit (g/tan)
|
|||
0
|
25.92 ab
|
145.25
|
170.92
|
4
|
34.58 b
|
149.00
|
168.50
|
7
|
17.83 a
|
127.75
|
149.83
|
10
|
57.83 c
|
129.83
|
163.42
|
Keterangan :
Nilai rata-rata pada kolom yang sama
diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada
taraf 5 %.
|
4.2.7. Bobot bintil
Hasil sidik ragam ( Lampiran 7 )
menunjukkan dosis zeolit pada umur 3 MST sangat
berpengaruh nyata,
tetapi jenis pupuk N dan interaksi antara jenis pupuk N dan dosis zeolit tidak berpengaruh nyata terhadap bobot bintil.
Pada umur 3 MST jumlah bintil akar tanaman edamame yang diberi 10 g zeolit/ tan
lebih banyak dibandingkan dengan yang diberi zeolit lebih sedikit (Tabel 7).
Tabel 7 Bobot basah bintil umur 3, 6
dan 10 MST pada berbagai dosis zeolit dan jenis pupuk N
Perlakuan
|
Bobot basah bintil (g)
|
||
3 MST
|
6 MST
|
10 MST
|
|
Jenis Pupuk N
|
|||
Urea
|
0.13
|
2.77
|
6.84
|
ZA
|
0.11
|
2.88
|
7.64
|
NPK
|
0.12
|
3.07
|
6.03
|
Kompos
|
0.09
|
3.39
|
6.65
|
Dosis Zeolit (g/tan)
|
|||
0
|
0.06 a
|
2.83
|
7.06
|
4
|
0.06 a
|
3.31
|
6.57
|
7
|
0.04 a
|
2.57
|
6.78
|
10
|
0.27 b
|
3.40
|
6.75
|
Keterangan : Nilai rata-rata pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5 %. |
4.2.8. Bobot basah
tajuk
Hasil sidik ragam ( Lampiran 8 )
menunjukkan dosis zeolit sangat
berpengaruh nyata terhadap bobot tajuk pada umur 6 MST,
tetapi jenis pupuk N dan interaksi
antara jenis pupuk N dan dosis zeolit tidak berpengaruh nyata terhadap bobot tajuk tanaman kedelai
edamame. Pada umur 6 MST tanaman kedelai yang
diberi 10 g zeolit/ tan, menunjukkan bobot tajuk nyata lebih rendah
dibandingkan dengan yang diberi zeolit lebih sedikit (Tabel 8).
Tabel
8 Bobot basah tajuk umur 3, 6 dan 10 MST pada berbagai dosis zeolit dan jenis
pupuk N
Perlakuan
|
Bobot basah tajuk (g)
|
||
3 MST
|
6 MST
|
10 MST
|
|
Jenis Pupuk N
|
|||
Urea
|
4.33
|
23.09
|
34.47
|
ZA
|
5.06
|
33.15
|
40.13
|
NPK
|
5.47
|
26.00
|
30.37
|
Kompos
|
5.47
|
28.57
|
34.28
|
Dosis Zeolit (g/tan)
|
|||
0
|
5.47
|
29.37 b
|
38.12
|
4
|
5.75
|
33.31 b
|
35.95
|
7
|
5.08
|
29.49 b
|
36.37
|
10
|
4.04
|
18.65 a
|
26.81
|
Keterangan : Nilai rata-rata pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5 %. |
4.2.9. Jumlah bunga
Hasil
sidik ragam (Lampiran 9) menunjukkan dosis zeolit sangat bepengaruh nyata terhadap jumlah bunga umur
32 HST sampai 42 HST, sedangkan jenis
pupuk N dan interaksi antara jenis pupuk N dan dosis zeolit tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah bunga.
Pada
umur 32 HST jumlah bunga tanaman edamame yang diberi zeolit 10 g/tan nyata
lebih sedikit dibandingkan dengan yang diberi zeolit 4 g/tan, tetapi tidak
berbeda nyata dengan yang tidak diberi zeolit dan yang diberi zeolit 7 g/tan.
Pada umur 35 HST jumlah bunga tanaman edamame yang diberi zeolit 10 g/tan nyata
lebih sedikit dibandingkan yang tidak diberi zeolit dan yang diberi zeolit 4
g/tan, tetapi tidak berbeda nyata dengan yang diberi zeolit 7 g/tan. Jumlah
bunga tanaman edamame yang diberi zeolit 10 g/tan pada umur 42 HST nyata lebih
sedikit dibandingkan yang diberi zeolit dengan dosis lebih rendah (Tabel 9).
Tabel
9 Jumlah bunga kedelai edamame pada umur 30 HST, 32 HST, 35 HST dan 42 HST pada
berbagai dosis zeolit dan jenis pupuk N
Perlakuan
|
Jumlah
bunga
|
|||
30
HST
|
32
HST
|
35
HST
|
42
HST
|
|
Jenis Pupuk N
|
||||
Urea
|
3.44
|
10.77
|
19.80
|
28.81
|
ZA
|
4.39
|
10.44
|
20.64
|
30.39
|
NPK
|
3.14
|
9.90
|
18.55
|
26.25
|
Kompos
|
4.64
|
10.33
|
20.64
|
28.64
|
Dosis Zeolit (g/tan)
|
||||
0
|
3.47
|
10.61
ab
|
21.17
b
|
32.92
c
|
4
|
5.19
|
12.61
b
|
21.30
b
|
29.44
b
|
7
|
3.50
|
9.26 a
|
19.66
ab
|
28.08
b
|
10
|
3.44
|
8.97 a
|
17.50
a
|
23.64
a
|
Keterangan : Nilai rata-rata pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata, menurut uji DMRT pada taraf 5 %. |
4.2.10. Jumlah polong
Hasil sidik ragam (Lampiran 10)
menunjukkan jenis pupuk N, dosis zeolit dan interaksi antara jenis pupuk N dan
dosis zeolit tidak berpengaruh terhadap jumlah polong pada 10 MST. Jumlah
polong kedelai edamame relatif sama antar perlakuan tetapi pada 6 MST dosis
zeolit berpengaruh nyata. Jumlah polong kedelai edamame yang diberi zeolit 10
g/tan nyata lebih sedikit dibandingkan dengan yang diberi zeolit dengan dosis
lebih rendah (Tabel 10).
Tabel
10 Jumlah polong edamame umur 6 dan 10 MST pada berbagai dosis zeolit dan
jenis pupuk N
Perlakuan
|
Umur Pengamatan
|
|
6 MST
|
10 MST
|
|
Jenis Pupuk N
|
||
Urea
|
15.92
|
35.00
|
ZA
|
17.25
|
35.42
|
NPK
|
13.42
|
29.50
|
Kompos
|
16.67
|
32.25
|
Dosis Zeolit (g/tan)
|
||
0
|
18.50 b
|
35.42
|
4
|
16.17 b
|
35.00
|
7
|
17.00 b
|
30.83
|
10
|
11.58 a
|
30.92
|
Keterangan :
Nilai rata-rata pada kolom yang sama
diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada
taraf 5 %.
|
4.2.11. Bobot polong
Hasil sidik ragam (Lampiran 11)
menunjukkan perlakuan jenis pupuk N, dosis zeolit dan interaksi antara jenis
pupuk N dan dosis zeolit tidak berpengaruh
nyata terhadap bobot polong. Walaupun bobot polong
tanaman edamame yang diberi zeolit Z3 cenderung lebih sedikit, tetapi tidak
berbeda nyata dengan perlakuan lain
(Tabel 11).
Tabel
11 Bobot basah polong edamame umur 6 dan 10 MST pada berbagai dosis zeolit dan
jenis pupuk N
Perlakuan
|
Bobot basah polong (g)
|
|
6 MST
|
10 MST
|
|
Jenis Pupuk N
|
||
Urea
|
11.17
|
66.39
|
ZA
|
12.36
|
74.19
|
NPK
|
12.12
|
62.94
|
Kompos
|
13.92
|
67.67
|
Dosis Zeolit (g/tan)
|
||
0
|
12.77
|
71.39
|
4
|
13.62
|
72.25
|
7
|
13.67
|
66.82
|
10
|
9.50
|
60.73
|
Keterangan :
Nilai rata-rata pada kolom yang sama
diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada
taraf 5 %.
|
4.2.12. Persentase polong isi
Hasil sidik ragam (Lampiran 12)
menunjukkan perlakuan jenis pupuk N dan dosis zeolit tidak berpengaruh nyata terhadap persentase
polong isi dan persentase polong hampa, tetapi interaksi antara jenis pupuk N
dan dosis zeolit sangat berpengaruh
nyata terhadap persentase
polong isi dan polong hampa. Perbedaan persentase polong isi hanya tampak pada
tanaman yang diberi pupuk NPK dan 7 g zeolit/tan, yang nyata memiliki
persentase polong isi lebih rendah dibanding kombinasi perlakuan lain (Tabel 12).
Tabel
12 Persentase polong isi kedelai edamame pada berbagai kombinasi dosis zeolit dan jenis pupuk N
Perlakuan
|
Dosis zeolit (g/tan)
|
|||
Jenis pupuk N
|
0
|
4
|
7
|
10
|
Urea
|
100.00 b
|
98.33 b
|
100.00 b
|
100.00 b
|
ZA
|
100.00 b
|
100.00 b
|
100.00 b
|
100.00 b
|
NPK
|
100.00 b
|
100.00 b
|
88.17 a
|
99.00 b
|
Kompos
|
99.00 b
|
100.00 b
|
98.10 b
|
98.33 b
|
Keterangan
: Nilai rata-rata yang diikuti huruf
yang sama tidak berbeda nyata
menurut uji DMRT pada taraf 5 %.
4.2.13. Kualitas polong
Hasil sidik
ragam (Lampiran 13) menunjukkan jenis pupuk N dan interaksi antara jenis pupuk
N dan dosis zeolit berpengaruh nyata terhadap jumlah polong berbiji 3,
sedangkan dosis zeolit tidak berpengaruh nyata.
Pada tanaman yang diberi pupuk urea,
pemberian zeolit menyebabkan penurunan jumlah polong berbiji tiga. Sementara
itu pada tanaman yang diberi pupuk ZA penambahan zeolit sampai 10 g/tan nyata
meningkatkan jumlah polong berbiji tiga, dan pada tanaman yang diberi pupuk
kompos jumlah polong berbiji tiga terbanyak terdapat pada tanaman yang diberi zeolit
7 g/tan (Tabel 13).
Tabel
13 Jumlah polong kedelai edamame berbiji 3 pada kombinasi dosis zeolit dan jenis pupuk N
Perlakuan
|
Dosis zeolit (g/tan)
|
|||
Jenis pupuk N
|
0
|
4
|
7
|
10
|
Urea
|
4.00 bc
|
2.00 ab
|
1.00 a
|
1.00 a
|
ZA
|
2.33 ab
|
4.00 bc
|
2.00 ab
|
6.33 d
|
NPK
|
2.67 ab
|
2.00 ab
|
2.00 ab
|
1.33 a
|
Kompos
|
1.00 a
|
2.67 ab
|
5.00 cd
|
1.00 a
|
Keterangan :
Nilai rata-rata yang diikuti huruf
yang sama tidak berbeda nyata
menurut uji DMRT pada taraf 5 %.
|
4.2.14. Bobot basah tanaman total
Hasil
sidik ragam (Lampiran 14) menunjukkan dosis zeolit berpengaruh nyata pada umur 10 MST,
tetapi jenis pupuk N dan interaksi antara jenis pupuk N dan dosis zeolit tidak
berpengaruh nyata terhadap bobot tanaman
total. Pada umur 10 MST, tanaman kedelai edamame yang diberi zeolit 10
g/tan menunjukkan bobot basah
tanaman total nyata lebih rendah dibandingkan dengan yang
diberi zeolit dengan dosis lebih rendah (Tabel 14).
Tabel
14 Bobot total tanaman umur 3, 6 dan 10 MST pada berbagai dosis zeolit dan
jenis pupuk N
Perlakuan
|
Bobot basah total tanaman (g)
|
||
3 MST
|
6 MST
|
10 MST
|
|
Jenis Pupuk N
|
|||
Urea
|
7.07
|
29.48
|
126.63
|
ZA
|
7.92
|
36.81
|
142.22
|
NPK
|
8.66
|
29.68
|
115.00
|
Kompos
|
9.39
|
35.64
|
126.47
|
Dosis Zeolit (g/tan)
|
|||
0
|
8.91
|
37.68
|
136.04 b
|
4
|
9.36
|
38.66
|
132.77 b
|
7
|
7.97
|
31.57
|
132.08 b
|
10
|
6.80
|
23.71
|
109.42 a
|
Keterangan
: Nilai rata-rata pada kolom yang sama
diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada
taraf 5 %.
4.2.15. Bobot
kering
Hasil sidik ragam (Lampiran 15)
menunjukkan jenis pupuk N berpengaruh nyata
terhadap
bobot kering bintil akar, dosis
zeolit bepengaruh nyata terhadap
bobot akar dan bobot polong, sedangkan
interaksi antara jenis pupuk N dan dosis zeolit tidak berpengaruh nyata terhadap seluruh bobot kering.
Bobot
kering akar tanaman yang diberi zeolit 10 g/tan nyata lebih rendah dibandingkan
dengan yang diberi zeolit lebih sedikit. Bobot kering bintil akar tanaman yang
diberi pupuk ZA nyata lebih tinggi dibandingkan yang diberi pupuk NPK, tetapi
tidak berbeda nyata dengan yang diberi pupuk urea dan kompos. Bobot kering polong tanaman kedelai edamame yang diberi
zeolit 10 g/tan nyata lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak diberi zeolit
dan yang diberi zeolit, tetapi tidak berbeda nyata dengan yang diberi zeolit 7
g/tan (Tabel 15).
Tabel
15 Bobot kering akar, bintil, tajuk, polong dan total tanaman pada berbagai
dosis zeolit dan jenis pupuk N
Perlakuan
|
Bobot
kering
|
||||
Akar
|
Bintil
|
Tajuk
|
Polong
|
Total
|
|
Jenis
pupuk N
|
|||||
Urea
|
2.63
|
1.46
ab
|
11.26
|
15.92
|
31.27
|
ZA
|
3.00
|
1.67 b
|
13.46
|
18.03
|
36.16
|
NPK
|
2.19
|
1.25 a
|
9.80
|
14.78
|
28.02
|
Kompos
|
2.53
|
1.49
ab
|
11.34
|
15.64
|
31.01
|
Dosis Zeolit (g/tan)
|
|||||
0
|
2.79 b
|
1.52
|
12.42
|
17.72
b
|
34.46
|
4
|
2.72 b
|
1.41
|
12.35
|
17.45
b
|
33.92
|
7
|
2.95 b
|
1.42
|
11.94
|
14.85
ab
|
31.17
|
10
|
1.90 a
|
1.51
|
9.15
|
14.35
a
|
26.91
|
Keterangan
: Nilai rata-rata pada kolom yang sama
diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada
taraf 5 %.
4.3 Pembahasan
4.3.1
Pertumbuhan Vegetatif
Jenis pupuk N
pada awal pertumbuhan tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah
daun, bobot tajuk, panjang akar, bobot akar, jumlah bintil dan bobot bintil
akar. Hal ini diduga karena dosis pupuk N yang diberikan untuk setiap perlakuan
sama, sehingga tanaman mendapatkan unsur hara yang sama dan cukup untuk
pertumbuhannya. Menurut Jumin (2005) pertumbuhan vegetatif tanaman akan baik
apabila unsur hara yang diberikan cukup bagi tanaman. Hasil analisis tanah yang
digunakan memiliki nilai KTK yang tinggi (24,57 cmol/kg), pH tanah agak masam
(6,0) dan kandungan N tanah rendah (0,14%). Berdasarkan data tersebut tanah
yang digunakan cocok untuk pertumbuhan tanaman kedelai.
Tanaman yang
diberi zeolit dengan dosis 10 g/tan menunjukkan pertumbuhan tinggi tanaman
paling rendah, jumlah daun paling sedikit dan bobot akar paling rendah.
Menurunnya pertumbuhan pada tanaman yang diberi perlakuan 10 g/tan diduga
karena menurunnya unsur hara N yang diserap oleh tanaman karena dijerap oleh
zeolit. Semakin tinggi dosis zeolit yang diberikan semakin banyak amonium yang
dapat dijerap (Prakoso et al. 2006),
sehingga menurunnya serapan N mengakibatkan pertumbuhan tanaman terganggu, karena unsur N merupakan penentu
pertumbuhan vegetatif tanaman (Hardjowigeno 2003). Selain itu, pertumbuhan akar
yang kurang baik pada umur 3 dan 6 MST diduga karena meningkatnya kadar Na yang
disebabkan oleh penambahan zeolit. Dewi (2006) melaporkan, menurunnya serapan
hara N, P dan K pada tanaman caisim bangkok yang diberi zeolit dikarenakan
meningkatnya kadar Na yang mengakibatkan terjadinya pemadatan tanah karena
dispersi tanah oleh kadar Na yang tinggi, sehingga akar tanaman akan sulit
berkembang dan menyerap hara dengan baik.
Pemadatan pada
tanah menyebabkan suplai oksigen di sekitar perakaran menjadi rendah, yang
mempengaruhi akumulasi natrium. Natrium
merupakan unsur hara mikro penunjang untuk tanaman tertentu dan dapat juga
bersifat merugikan. Pada tanaman jeruk
dan alpukat, akumulasi natrium dalam jumlah sedang dalam jaringan tanaman
mengakibatkan kerusakan pada daun
(Nyakpa et al. 1988).
Meningkatnya akumulasi natrium pada tanaman jeruk sejalan dengan fluktuasi
kandungan atau tinggi air tanah (Donahue et
al. 1983). Jika akumulasi natrium dalam akar mencapai tahap kritis
menyebabkan terganggunya adaptasi phylogenetik dari tanaman terhadap natrium
yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman (Attumi 1997). Pada tanaman yang
diberi zeolit 10 g/tan diduga mengalami peningkatan akumulasi natrium akibat
dari pemberian zeolit. Dengan meningkatnya akumulasi natrium menyebabkan exchangeable sodium presentages (ESP)
meningkat sehingga absorpsi kalsium berkurang (Attumi 1997). Kalsium merupakan
unsur hara yang dibutuhkan dalam perkembangan akar secara normal (Mengel dan
Kirkby 1978). Kalsium berperan dalam pertumbuhan tanaman untuk sintesis
protein, pemanjangan dan pembelahan sel, pengangkutan air dan hara,
meningkatkan produksi biji dan penting untuk pembentukan dan berfungsinya
bakteri-bakteri bintil akar (Rhizobium)
pada tanaman legum. Gejala awal kekurangan kalsium terlihat pada titik tumbuh
daun muda menjadi klorosis, akar-akar muda melekuk dan berkerut-kerut pendek, sehingga
tanaman menjadi kerdil dan produksinya menurun (Nyakpa et al. 1985).
Pertumbuhan akar kedelai edamame pada awal
pertumbuhan (3 MST) yang diberi pupuk
kompos lebih baik dibandingkan yang diberi pupuk urea dan ZA. Hal ini diduga
karena kompos memberikan lingkungan yang baik untuk tumbuhnya mikroba tanah
sehingga tanah menjadi subur dan gembur. Menurut Setyorini et al. (2013), gemburnya tanah yang diberi kompos disebabkan oleh
senyawa-senyawa polisakarida yang dihasilkan oleh mikroorganisme pengurai pada
kompos. Dengan struktur tanah yang baik berarti difusi O2 atau
aerasi akan lebih banyak sehingga proses fisiologi di akar menjadi lebih baik.
Selain itu, aktifitas berbagai mikroorganisme pada kompos menghasilkan berbagai
macam hormon pertumbuhan (auksin, sitokinin dan giberelin) yang memacu pertumbuhan
akar-akar rambut.
Jumlah dan bobot
bintil akar pada tanaman yang diberi dosis zeolit Z3 paling tinggi pada awal pertumbuhan. Hal ini
diduga karena amonium dan nitrat di sekitar tanaman dijerap sementara oleh
zeolit. Selain itu, zeolit juga dapat menghambat konversi NH4+ menjadi
NO3- (Al-Jabri 2009), dengan terjerap dan terhambatnya
konversi amonium dan nitrat di sekitar tanaman menyebabkan pertumbuhan bintil
akar berkembang lebih banyak. Pertumbuhan bintil akar dapat terhambat dengan
pemberian pupuk N (Ray et al. 2006
dan Basu et al. 2008).
4.3.2
Pertumbuhan Generatif
Tanaman edamame
yang diberi dosis zeolit 10 g/tan, nyata memiliki jumlah bunga yang paling
sedikit dibanding perlakuan lain (Z0, Z1, Z2). Hal ini diduga berhubungan
dengan perkembangan akar yang kurang baik pada tanaman yang diberi zeolit 10
g/tan yang menyebabkan hara yang diserap oleh tanaman lebih sedikit.
Peningkatan
jumlah dan bobot bintil akar tanaman kedelai edamame terjadi pada fase
generatif. Jumlah dan bobot bintil akar tanaman edamame yang diberi zeolit 10
g/tan menjadi tidak berbeda nyata dengan yang diberi zeolit dengan dosis lebih
rendah. Ini diduga karena kebutuhan tanaman akan unsur hara N meningkat
sehingga pembentukan bintil akar meningkat sejalan dengan berkurangnya
ketersediaan unsur hara N yang diberikan melalui pemupukan akibat volatilisasi. Menurut Salisbury dan Ross
(1995) tahap pertumbuhan juga mempengaruhi penambatan N2. Pada
tanaman kedelai laju penambatan N2
tertinggi terjadi setelah pembungaan ketika kebutuhan nitrogen di dalam
biji yang sedang berkembang meningkat. Sekitar 90 % penambatan N2
pada tanaman legum terjadi selama periode perkembangan reproduktif dan 10%
pada masa vegetatif. Sementara itu,
dengan berkurangnya pupuk N di sekitar tanaman (akibat pencucian) mengakibatkan
penambatan N2 secara biologi meningkat sehingga jumlah dan bobot
bintil akar meningkat. Menurut Robertson dan Farnden (1980); Streeter (1988)
penambatan N2 menurun sejalan dengan penambahan pupuk nitrogen yang yang
diserap.
Tanaman yang
diberi dosis zeolit 10 g/tan, pada fase pertumbuhan vegetatif mengalami
pertumbuhan yang paling rendah dibandingkan dengan perlakuan yang lain, akan
tetapi pada saat pembentukan dan pengisian polong tidak berbeda nyata dengan
perlakuan yang diberi zeolit lebih rendah (Z0, Z1 dan Z2). Hal ini diduga,
unsur hara N yang dijerap oleh zeolit diberikan kembali pada saat pembentukan
dan pengisian polong edamame. Menurut Prakoso et al. (2006), zeolit akan melepaskan kembali unsur N yang
dijerapnya setelah kelarutan N dalam tanah menurun. Dengan dilepasnya kembali
unsur N oleh zeolit, menyebabkan tanaman yang diberi dosis 10 g/tan pada fase
pembentukan dan pengisian polong tidak berbeda dengan tanaman yang diberi
perlakuan lain.
Tanaman
kedelai edamame yang diberi pupuk ZA dengan zeolit 10 g/tan (N2Z3) nyata
memiliki luas daun dan kualitas polong isi yang lebih banyak dibanding dengan
perlakuan lain. Hal ini diduga karena pupuk ZA yang memiliki reaksi fisiologi
masam (dapat memasamkan tanah) dapat berinteraksi dengan zeolit. Menurut
Trisunaryati (2009), zeolit dapat teraktivasi dengan asam. Al-jabri (2009) melaporkan,
pemberian 3 ton zeolit dan 1 ton pupuk ZA pada tanah masam memberikan
peningkatan hasil kedelai sebesar 46%.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan
Jenis
pupuk N tidak berpengaruh nyata terhadap produksi kedelai edamame. Tanaman
edamame yang diberi zeolit dengan dosis 10 g/tan, memiliki pertumbuhan tinggi
tanaman (3-5 MST), jumlah daun (3-5 MST), bobot akar (3 dan 6 MST), bobot tajuk
(6 MST), bobot basah total tanaman dan jumlah bunga (42 HST) paling rendah,
tetapi jumlah dan bobot bintil paling tinggi (3 MST) dibanding tanaman yang
diberi zeolit dengan dosis lebih rendah.
Luas
daun dan jumlah polong berbiji tiga pada tanaman kedelai yang dipupuk ZA dengan
zeolit 10 g/tan (N2Z3) nyata lebih tinggi dibanding dengan perlakuan lain.
Perlu
adanya penelitian lanjutan tentang dosis zeolit dan dosis pupuk N pada urea,
NPK, ZA dan kompos untuk mengetahui berapa besar N yang dapat dijerap oleh
zeolit. Perlu adanya uji tanah pada media tanam setelah penelitian untuk
mengetahui unsur hara yang dapat digunakan untuk penanaman berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Adisarwanto
T. 2005. Kedelai. Jakarta : Penebar Swadaya
Al-Jabri M, Setyorini D dan Hartatik W. 2011.
Mineral zeolit untuk pembenah anah sawah intensifikasi. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian
3 (22)
Al-Jabri M. 2009. Peningkatan Produksi Tanaman Pangan dengan Pembenah Tanah Zeolit. Bogor : Balai Penelitian Tanah,
Badan Litbang Pertanian.
Al-varez MAB, Gagne S and Antoun H. 1995. Effect of
compost on rhyzospheremicoplora of the thomato and on the incidence plant
growth promoting rhizobacteria. Applied
Environ Microbiol 61 (1): 194-199.
Andrianto T T,
Indarto N. 2004. Budidaya dan Analisis
Usaha Tani Kedelai Kacang Hijau Kacang Panjang. Yogyakarta : Kanisius
Attumi A. 1997. Effect of salt stress on phosphorus and sodium absorptions by soybean plant. [Thesis] Canada : McGill University. Montreal.
Badan Pusat Statistik. 2012. Luas Panen,
Produktivitas dan Produksi Kedelai Nasional. http//www.bps.go.id
[07-01-2013]
Baharsjah J S. 1983.
Legum Pangan. Bogor : Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
2005. Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-2010.www.litbang.deptan.go.id [07-01-2013]
Balitbang Pertanian. 2008. Ketersediaan
Teknologi dalam Mendukung PeningkatanProduksi Kedelai Menuju Swasembada.
Jakarta : Departemen
Pertanian. www.litbang.deptan.go.id
[07-01-2013]
Basu M, Bhadoria PBS, Mahapatra C. 2008. Growth,
nitrogen fixation, yield and kernel quality of peanut in response to lime,
organic and inorganic fertilizer levels. Bioresource
Technol 99:4675-4683.
.
Benziger V Shanmugasundaram. 1995. Taiwan’s frozen
vegetable soybean industry. Shan Hua, Taiwan. AVRDC Tecnical Bul. 22, 15p. h.
Chen KF, Lay SH, S T Cheng. 1991. Vegetable soybean seed
production technology in Taiwan. p:45-52. In: Shanmugasundaram (Ed.). Shan Hua.
Taiwan: Vegetable Soybean AVRDC Pub. No. 91-346, 151 p.
Dariah A. 2007. Bahan pembenah tanah: prospek dan kendala
pemanfaatannya. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. www.litbang.deptan.go.id [16 Januari 2013]
Departemen
Pertanian. 1989. Upaya Peningkatan Produksi Kedelai. Medan : Balai Informasi Pertanian
Sumatra Utara. www.litbang.deptan.go.id [18 Oktober 2012]
Dewi D A L. 2009. Pengaruh zeolit dan biosoil pada sifat kimia tanah dan produksi tanaman caisim bangkok. [Skripsi] Bogor : Institut
Pertanian Bogor.
Donahue L R, Miler R W, Shickluna J C. 1983. Soil and Introduction Soil and Plant growth 5nd ed.Prentice-hall.
Inc.New Jersey. Englewood cliffs.
Eagly D B, Gyffy R D and Leggett J E. 1985.
Partitioning of assimilate between vegetative and reproductive growth in
soybean. Agron. J. 77:917-922
Ernawanto Q D, Noeriwan B S, Sugiono. 2011.
Pengaruh pemberian
zeolit terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai. Prosiding seminar Hasil
Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi. Jawa Timur.
Estiaty LM, Suwardi, Fatimah D, Maruya I. 2006. Pengaruh
zeolit dan pupuk kandang terhadap residu unsur hara dalam tanah. Zeolit Indonesia 5 (1) 4-6.
Fachruddin L. 2000. Budidaya Kacang-Kacangan. Yogyakarta : Kanisius.
Ghulamahdi M, Azis SA. 1992.
Pengaruh pupuk
N dan ZN terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai pada budidaya jenuh
air. Bul. Agr.21(1):37-45.
Hardjanto S. 1983. Bahan Galian Zeolit : Penggunaan
dan Penyebarannya di Indonesia. Bandung.
Ditjen Pertambangan Umum. Departemen Pertambangan dan Energi.
Hardjowigeno S. 2003. Ilmu Tanah.
Jakarta: Akademika Presindo.
Hartatik W, L R Widowati. 2006. Pupuk Kandang. Pupuk Organik dan Pupuk
Hayati. Bogor : Balai
Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Herridge DF, People MB. 1990. The ureide assay for
measuring nitrogen fixation by nodulated soybean calibrated by N methods. Plant Physiol. 93 : 495-503
Irwan W. 2006. Budidaya
Tanaman Kedelai. Jatinangor : Universitas Padjadjaran.
John RF, David LH. 2001. Soybean yield response to reproductive
stage soil-applied Nitrogen and foliar-applied Boron. Agron. J. 93: 1200-1209.
Jumin H B. 2005. Dasar-dasar Agronomi. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Kirana R, Gaswanto R, Hidayat IM. 2012. Budidaya dan
produksi benih kedelai sayur. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. www.litbang.deptan.go.id [12 Desember 2012]
Leiwakabessy F M, Sutandi A. 2004. Pupuk dan Pemupukan. Bogor : Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, IPB.
Lingga P, Marsono. 2004. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Jakarta : Penebar
Swadaya.
Melati M, Andriyani. 2005. Pengaruh pupuk
ayam dan pupuk hijau terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai panen muda yang
dibudidayakan secara organik. Agron 33
(2): 8-15.
.
Melati M. 1990.
Tanggap kedelai
terhadap pupuk mikro Zn, Cu, B pada beberapa dosis pupuk kandang di tanah latosol. [Thesis] Bogor : Fakultas Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor.
Mengel K, Kirkby A E. 1978. Principles of Plant Nutrition 4th Ed. Switzerland. International Potash Institute Bern.
Miles CA, Lumkin TA, Zenz L. 2000. Edamame Department of Natural
Resources. (http://foodfarm.wsu.edu.html) [7 Mei 2012]
Multasih S, Mugnisjah W, Sofandi D, Idris K. 2000.
Pengaruh waktu dan cara pemberian N sebagai pupuk tambahan terhadap pertumbuhan
dan hasil kedelai (Glycine max (L.)
Merr.) pada budidaya basah. Agron 28
(1-14).
Nazarudin. 1993. Budidaya dan
Pengaturan Panen Sayuran Dataran Rendah. Jakarta: Penebar Swadaya.
Nyakpa, Lubis, Pulung, Amrah G, Munawar A, Go
Ban Hong, Hakim N. 1985. Kesuburan Tanah.
Bandar Lampung : Universitas Lampung.
Poerwowidodo. 1992. Telaah Kesuburan Tanah. Bandung : Penerbit Angkasa.
Prakoso TG, Suwardi, Rosjidi M, Jufri A, Sulastri, Sitorus
S. 2006. Study slow release fertilizer (SRF): uji efisiensi pupuk tersedia lambat
campuran urea dengan zeolit. Bandar Lampung: Prosiding Seminar Nasional Zeolit
V.
Purwantari N D. 2008. Penambatan nitrogen secara biologis perspektif dan keterbatasannya. Wartazoa 18 (1): 1-3.
Putra SE. 2009. Zeolit Sebagai Mineral
Serbaguna. http://www.chem-is-try.org/?sect=
artikel &ext=127. [01 Maret 2011]
Ray DJ, Heatherly LG, Fritschi, FB. 2006.
Influence of large amount of nitrogen on nonirrigated and irrigated soybean. Crop Science 46:52-60.
Riyanto.
Pengkajian Daya Hasil Lanjutan Beberapa Varietas Kedelai pada Tiga Jenis Tanah
Berbeda di Provinsi Yogyakarta. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Yogyakarta. www.litbang.deptan.go.id [19-01-2013]
Robertson J G and Farnden K J F. 1990.
Ultra-structure and metabolism of the developing legume root nodule. The Biochemistry of Plant, Vol 5. New York. Academic Press.
Rubatzky V E dan
Yamaguchi M.
1998. Sayuran Dunia, Prinsip, Produksi dan Gizi. Jilid ke 2. Penerjemah : Catur Herison.Bandung. Penerbit ITB.
Rukmana R dan Yuniarsih Y. 1996. Kedelai Budidaya dan Pascapanen. Yogyakarta : Kanisius.
Salisburry F B dan Ross C W. 1995.
Fisiologi Tumbuhan jilid 2 (diterjemahkan dari Plant Physiologi, penerjemah:
Diah R Lukmana dan Sumarya). Bandung: Penerbit ITB.
Samsu H S. 2001. Membangun Agroindustri
Bernuansa Ekspor: Edamame ( vegetable soybean). Jember: Graha Ilmu dan
Florentina.
Sastiono A. 2004. Pemanfaatan zeolit di bidang pertanian. Zeolit Indonesia. 3(1): 36-41.
Setyono A. 2008. Unsur Nitrogen Tanah dapat
Meningkatkan Kadar Protein Beras. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. www.litbang.deptan.go.id [07-01-2013]
Setyorini D, Saraswati R, Anwar E K. Kompos. www.repository.ipb.ac.id
[25 Mei 2013]
Seviana. 2003. Pengaruh pemupukan dengan menggunakan kotoran ayam dan rock phosphate terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai. [Skripsi] Bogor : Jurusan Budidaya
Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Shanmugasundaram S, ST Cheng, MT Huang, ML Yan. 1991.
Varietal improvement of vegetable soybean in Taiwan. p. 30-42. In:
Shanmugasundaram (Ed.). Shan Hua. Taiwan :Vegetable Soybean AVRDC Pub.No.
91-346, 151 p.
Soewanto, Prasongko, Sumarno. 2007. Kedelai Teknik Produksi dan
Pengembangannya (Agribisnis Edamame untuk Ekspor). Bogor : Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Stephan, 2009 (http://breastcancer.about.com/od/riskfactorsindetail/a/soy_bc_diet.htm). [06-01-2013]
Streeter J. 1988. Inhibition of legume nodule
formation and N2 fixation by nitrate. CRC Critical Reviews in Plant Sciences 7:1-23
Subhan. 1992. Pengaruh dosis pupuk nitrogen dan kalium
terhadap pertumbuhan tanaman bayam
kultivar giti hijau (Amaranthus
tricolor L.). Bul. Agr. 24 (1): 29-38
Suprapto, H. S. 2001. Bertanam Kedelai. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Suwardi, Darmawan. 2009. Peningkatan efisiensi pupuk
nitrogen melalui rekayasa kelat urea-zeolit- asam humat. Bogor: Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian IPB.
Suwardi. 2004. Teknologi pengomposan bahan organik
sebagai pilar pertanian organik. Prosiding Simposium Nasional Pertanian Organik
: Keterpaduan Teknik Pertanian Tradisional dan Inovatif.
Suwardi. 2007. Deposit dan sifat-sifat mineral zeolit serta pemanfaatanya sebagai bahan pembenah tanah. Yogyakarta. Prosiding HITI IX.
Suwardi. 2007. Pemanfaatan Zeolit untuk
Perbaikan Sifat-Sifat Tanah dan Peningkatan Produksi Pertanian. Semiloka
Pembenah Tanah Menghemat Pupuk Mendukung Peningkatan Produksi Beras. Departemen
Pertanian: Jakarta 5 April 2007.
Suwardi. 1997. Studies on agricultural utilization of
natural zeolites in Indonesia. Dissertation. Graduated School of Agriculture.
Tokyo University of Agriculture.
Syafi’i, Sugiarti, Charlena. 2010. Modifikasi
zeolit melalui interaksi dengan Fe(OH)3
untuk meningkatkan
kapasitas tukar anion. Bogor. Prosiding Seminar Nasional Sains III.
Taiz L, Zeiger E. 1998. Plant Physiology 2nd ed. Sinauer Associates. Inc. Publ.
Massachucetts.
Trisunaryati W. 2009. Zeolit Alam Indonesia
Sebagai Absorben dan Katalis dalam Mengatasi Masalah Lingkungan dan Krisis
Energi. Pidato pengukuhan jabatan guru besar dalam ilmu kimia pada Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Gadjah Mada.
Usri. 1991. Industri zeolit
banyak gunanya. Ayam dan Telur 55: 31-33
Wasis B, Fathia N. 2011. Pengaruh pupuk NPK terhadap
pertumbuhan semai Gmelina (Gmelina
arborea Roxb.) pada media tanah bekas tabang (Tailing). Silvikultur Tropika
2 (1) 4.
Zapata F, Danso SKA, Hardarson G, Fried M. 1987. Time course of nitrogen fixation in field grown soybean
using nitrogen- 15 methodology. Agron. J.
79 : 172-179
Langganan:
Postingan (Atom)