Rabu, 11 Desember 2013

TEKNIK BUDIDAYA JAMUR TIRAM

TEKNIK BUDIDAYA JAMUR TIRAM

Usaha budidaya jamur tiram seringkali mengalami kegagalan karena teknik dan cara budidaya yang kurang benar. Meskipun gampang, perlu diperhatikan faktor-faktor seperti lingkungan, kebersihan, serta konsistensi selama perawatan. Jika faktor-faktor tersebut tidak bisa dipenuhi dengan baik maka hasilnya pun kurang optimal bahkan besar kemungkinan berpotensi mendatangkan kegagalan.
Jamur tiram putih berwarna putih agak krem dengan diameter tubuh 3-14 cm. Jamur ini memiliki miselium.  Tubuh buah jamur inilah yang bernilai ekonomis tinggi dan menjadi tujuan dari budidaya jamur tiram. Teknik budidaya jamur tiram mulai dari persiapan hingga pasca panen sangat perlu diperhatikan agar pelaku usaha benar-benar memahami sehingga lebih menguasai dalam pemeliharaan maupun pengendalian hama tanaman.

PERSIAPAN PENANAMAN

Sebelum melakukan penanaman, hal-hal yang menunjang budidaya jamur tiram harus sudah tersedia, diantaranya rumah kumbung baglog, rak baglog, bibit jamur tiram, dan peralatan budidaya. (Bisa Anda lihat di artikel Persiapan Usaha Budidaya Jamur Tiram). Usahakan budidaya jamur tiram menggunakan bibit bersertifikat yang dapat dibeli dari petani lain atau dinas pertanian setempat. Peralatan budidaya jamur tiram cukup sederhana, harga terjangkau, bahkan kita bisa memanfaat peralatan dapur.
Untuk mengoptimalkan hasil dalam usaha budidaya jamur tiram di dataran rendah dapat dilakukan dengan modifikasi terhadap bahan media dan takarannya, yakni dengan menambah atau mengurangi takaran tiap-tiap bahan dari standar umumnya. Dalam usaha skala kecil, eksperimen dalam menentukan takaran bahan media merupakan hal yang sangat penting guna memperoleh takaran yang pas. Hal ini mengingat jamur yang dibudidayakan di lingkungan tumbuh berbeda tentu membutuhkan nutrisi dan media yang berbeda pula tergantung pada kondisi lingkungan setempat. Hingga saat ini belum ada standar komposisi media untuk budidaya jamur tiram di dataran rendah, sehingga petani memodifikasi media dan lingkungan berdasarkan pengalaman dan kondisi masing-masing.
Sebagai media tumbuh jamur tiram, serbuk gergaji berfungsi sebagai penyedia nutrisi bagi jamur. Kayu yang digunakan sebaiknya kayu keras karena serbuk gergaji kayu jenis tersebut sangat berpotensi dalam meningkatkan hasil panen jamur tiram.  Hal ini karena kayu keras banyak mengandung selulosa yang dibutuhkan oleh jamur. Jenis-jenis kayu keras yang bisa digunakan sebagai media tanam jamur tiram antara lain sengon, kayu kampung, dan kayu mahoni. Untuk mendapatkan serbuk kayu pembudidaya harus memperolehnya ditempat penggergajian kayu. Sebelum digunakan sebagai media biasanya sebuk kayu harus dikompos terlebih dahulu agar bisa terurai menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga mudah dicerna oleh jamur. Proses pengomposan serbuk kayu dilakukan dengan cara menutupnya menggunakan plastik atau terpal selama 1-2 hari. Pengomposan berlangsung dengan baik jika terjadi kenaikan suhu sekitar 50 derajat C.
Alternatif bahan yang bisa digunakan untuk mengganti serbuk kayu adalah berbagai macam ampas, misal ampas kopi, ampas kertas, ampas tebu, dan ampas teh. Namun, berdasarkan pengalaman petani jamur tiram di dataran rendah, media yang baik untuk digunakan tetap serbuk gergaji kayu.
Media berupa dedak/bekatul dan tepung jagung berfungsi sebagai substrat dan penghasil kalori untuk pertumbuhan jamur. Sebelum membeli dedak dan tepung jagung, sebaiknya pastikan dahulu bahan-bahan tersebut masih baru. Jika memakai bahan yang sudah lama dikhawatirkan sudah terjadi fermentasi yang dapat berakibat pada tumbuhnya jenis jamur yang tidak dikehendaki. Berdasarkan hasil penelitian, penggunaan dedak maupun teung jagung memberikan kualitas hasil jamur yang sama karena kandungan nutrisi kedua bahan tersebut mirip. Namun, penggunaan dedak dianggap lebih efisien karena bisa memangkas biaya dan cenderung mudah dicari karena banyak dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Kapur (CaCo3) berfungsi sebagai sumber mineral dan pengatur pH. Kandungan Ca dalam kapur dapat menetralisir asam yang dikeluarkan meselium jamur yang juga bisa menyebabkan pH media menjadi rendah.
Wadah yang digunakan untuk meletakkan campuran media adalah kantong plastik bening tahan panas (PE 0,002) berukuran 20 cm x 30 cm. Adapun komposisi media semai adalah serbuk gergaji 100 kg; tepung jagung 10 kg; dedak halus atau bekatul 10 kg; kompos 0,5 kg; kapur (CaCo3) 0,5 kg; dan air 50-60%. Ada dua hal yang harus diperhatikan sebelum melakukan penanaman bibit jamur, yaitu sterilisasi bahan dan sterilisasi baglog.

A. Sterilisasi Bahan

Sebelum dicampur dengan media lain, serbu kayu dan dedak disterilisasi terlebih dahulu menggunakan oven selama 6-8 jam pada suhu 100 derajat C. Dengan sterilisasi tersebut selain mengurangi mikroorganisme penyebab kontaminsasi juga menguranngi kadar air pada serbuk gergaji kayu. Dengan demikian, media menjadi lebih kering. Kedua bahan tersebut kemmudian dicampur dan diberi air sekitar 50—60% hingga adonan menjadi kalis dan bisa dikepal. Air berfungsi dalam penyerapan nutrisi oleh miselium. Air yang digunakan harus air bersih untuk mengurangi resiko kontaminasi organisme lain dalam media. Dalam memasukkan media ke dalam plastik, media harus benar-benar padar agar jamur yang dihasilkan bisa banyak. Jadi pastikan bahwa bahan-bahan telah cukup padat di dalam plastik dengan cara menekan—nekan adonan hingga benar-benar padat, kemudian bagian atas kantong dipasang cincin paralon dan selanjutnya kantong plastik ditutup dengan sumbat kapas dan diikat dengan karet.

B. Sterilisasi Baglog

Sterilisasi baglog dilakukan dengan cara memasukkan baglog ke dallam autoclave atau pemanas/steamer dengan suhu 121 derajat C selama 15 menit. Untuk mengganti penggunaan autoclave atau streamer, dapat menggunakan drum dengan kapasitas besar atau mampu menampung sekitar 50 baglog dan dipanasi di atas kompor minyak atau dapat juga menggunakan oven. Memang, sterilisasi baglog menggunakan drum memakan waktu lebih lama, yaitu sekitar 8 jam, tetapi dianggap lebih menghemat biaya.
Setelah proses sterilisasi selesai, baglog kemudian didinginkan, yakni dengan mematikan alat sterilisasi dan membiarkan suhunya turun sedikit demi sedikit. Setelah proses pendinginan, baru kemudian dilakukan penanaman bibit jamur.

Salah satu penentu keberhasilan budidaya jamur tiram adalah kebersihan dalam melakukan proses budidayanya, baik kebersihan tempat, alat, maupun pekerjanya. Hal ini karena kebersihan adalah hal yang mutlak harus dipenuhi. Untuk itu, tempat untuk penanaman sebaiknya harus dibersihkan dahulu dengan sapu, lantai dan dindingnya dibersihkan menggunakan disinfektan. Alat yang digunakan untuk menanam juga harus disterilisasi menggunakan alkohol dan dipanaskan di atas api lilin. Selain itu, selama melakukan penanaman para pekerja juga idealnya menggunakan masker. Hal ini bertujuan untuk memperkecil terjadinya kontaminasi.
Dalam budidaya jamur tiram hal yang juga harus diperhatikan adalah menjaga suhu dan kelembaban ruang agar tetap pada standar yang dibutuhkan. Jika cuaca lebih kering, panas, atau berangin, tentu akan mempengaruhi suhu dan kelembaban dalam kumbung sehingga air cepat menguap. Bila demikian, sebaiknya frekuensi penyiraman ditingkatkan. Jika suhu terlalu tinggi dan kelembaban kurang, bisa membuat tubuh jamur sulit tumbuh atau bahkan tidak tumbuh. Oleh karena itu, atur juga sirkulasi udara di dalam kumbung agar jamur tidak cepat layu dan mati. Pengaturan sirkulasi dapat dilakukan dengan cara menutup sebagian lubang sirkulasi ketika angin sedang kencang. Sirkulasi dapat dibuka semua ketika angin sedang dalam kecepatan normal. Namun, yang terpenting adalah jangan sampai jamur kekurangan udara segar.

PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT

Selain pemeliharaan baglog, dalam budidaya jamur tiram juga perlu dilakukan perawatan untuk mencegah atau mengendalikan hama dan penyakit yang mungkin bisa menyerang jamur tiram. Hama dan penyakit yang menyerang jamur tiram tentu dipengaruhi oleh keadaan lingkungan maupun jamur itu sendiri. Sehingga antara tempat budidaya yang satu dan yang lain, serangan hama penyakit kemungkinan dapat berbeda-beda.

A. Ulat

Ulat merupakan hama yang paling banyak ditemui dalam budidaya jamur tiram. Ada tiga faktor penyebab kemunculan hama ini yaitu faktor kelembaban, kotoran dari sisa pangkal/bonggol atau tangkai jamur dan jamur yang tidak terpanen, serta lingkungan yang tida bersih.
Hama ulat muncul ketika kelembaban udara berlebihan. Oleh sebab itu, hama ulat sering dijumpai ketika musim hujan. Pencegahan menjadi solusi terbaik untuk mengatasi hama ini adalah dengan mengatur sirkulasi udara. Caranya dengan membuka lubang sirkulasi dan untuk sementara proses penyiraman keumbung dihentikan.
Pangkal jamur yang tertinggal di baglog saat pemanenan dapat menimbulkan binatang kecil seperti kepik. Kepik inilah yang menjadi penyebab munculnya hama ulat. Sementara jamur yang tidak terpanen kemungkinan terjadi karena jamur tidak muncul keluar sehingga luput saat pemanenan dan menjadi busuk. Hal ini menyebabkan munculnya ulat. Sebaiknya, ketika melakukan pemanenan baglog telah dipastikan kebersihannya sehingga tidak ada pangkal atau batang dan jamur yang tidak terpanen.
Ulat bisa saja muncul karena rumah kumbung ataupun sekitar kumbung tidak berseih. Misalnya adanya kandang ternak atau tanaman di sekitar rumah kumbung.
Untuk mencegah dan mengatasi serangan hama ulat, lakukan pembersihan rumah kumbung dan sekitar rumah kumbung dengan melakukan penyemprotan formalin.

B. Semut, Laba-laba, dan Kleket (sejenis moluska)

Secara mekanis hama semut dan laba-laba dapat diatasi dengan membongkar sarangnya dan menyiramnya dengan minyak tanah. Sedangkan secara kemis hama tersebut dapat dikendalikan dengan penyemprotan insektisida. Cara ini merupakan cara terakhir dan usahakan untuk menghindari penggunaan insektisida jika serangan tidak parah karena produk jamur merupakan produk organik. Keuntungan jika pemberantasan hama serangga dilakukan dengan cara mekanis antara lain, dapat memangkas biaya selama perawatan dan juga ramah lingkungan. Sementara itu hama kleket kerap dijumpai pada mulut baglog. Untuk mengendalikannya juga dilakukan dengan cara mekanis, yaitu mengambilnya dengan tangan.

C. Penyakit

Jamur lain yang kerap mengganggu jamur tiram adalah Mucor sp., Rhizopus sp., Penicillium sp., dan Aspergillus sp. pada substrat atau baglog. Serangan jamur-jamur tersebut bersifat patogen yang ditandai dengan timbulnya miselium berwarna hitam, kuning, hijau, dan timbulnya lendir pada substrat. Miselium-miselium tersebut mengakibatkan pertumbuhan jamur tiram terhambat atau bahkan tidak tumbuh sama sekali. Penyakit ini dapat disebabkan karena lingkungan dan peralatan saat pembuatan media penanaman kurang bersih atau karena lingkungan kumbung yang terlalu lembab. Untuk mengatasi penyakit ini, lingkungan dan peralatan ketika pembuatan media dan penanaman perlu dijaga kebersihannya. Kelembaban di dalam kumbung juga diatur agar tidak berlebihan. Penyakit ini dapat menyerang baglog yang sudah dibuka ataupun masih tertutup. Jika baglog sudah terserang maka harus segera dilakukan pemusnahan dengan cara dikeluarkan dari kumbung kemudian dibakar.
Tangkai Memanjang
Penyakit ini merupakan penyakit fisiologis yang ditandai dengan tangkai jamur memanjang dengan tubuh jamur kecil tidak dapat berkembang maksimal. Penyakit tangkai memanjang disebabkan karena kelebihan CO2 akibat ventilasi udara yang kurang sempurna. Agar tidak terserang penyakit ini harus dilakukan pengaturan ventilasi dalam kumbung seoptimal mungkin.

PANEN dan PASCA PANEN

Pemanenan merupakan kegiatan budidaya yang selalu dinantikan oleh pelaku usaha. Untuk mendapatkan hasil yang optimal maka penanaman selama panen dan pasca panen harus dilakukan dengan baik.

A. Waktu dan Cara Panen Jamur Tiram

Jamur tiram termasuk jenis tanaman budidaya yang memiliki masa panen cukup cepat. Panen jamur tiram dapat dilakukan dalam jangka waktu 4o hari setelah pembibitan atau setelah tubuh buah berkembang maksimal, yaitu sekitar 2-3 minggu setelah tubuh buah terbentuk. Perkembangan tubuh buah jamur tiram yang maksimal ditandai pula dengan meruncngnya bagian tepi jamur. Kriteria jamur yang layak untuk dipanen adalah jamur yang berukuran cukup besar dan bertepi runcing tetapi belum mekar penuh atau belum pecah. Jamur dengan kondisi demikian tidak mudah rusak jika dipanen. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi ketika produk dipasarkan, misalnya keseragaman berat dan ukuran jamur tiram.

B. Penanganan Pasca Panen Jamur Tiram

Penanganan yang dilakukan usai pemanenan jamur tiram bertujuan untuk menciptakan hasil akhir yang berkualitas sehingga sesuai dengan permintaan pasar. Berikut beberapa tahapan agar produk jamur tiram yang dihasilkan berkualitas baik.

C. Penyortiran

Jamur yang telah dipanen harus segera dicuci dengan air bersih, kemudian bagian tubuh buahnya dipisahkan deri pangkalnya. Proses pencucian dan pemisahan ini penting untuk dilakukan karena bila selama proses budidaya petani menggunakan pestisida, biasaya racun pestisida akan mengendap pada bagian pangkal dan masih memungkinkan terdapat residu yang tertinggal pada tubuh buah. Setelah diyakini kebersihannya, proses sortasi dilakukan untuk mengelompokkan jamur tiram berdasarkan bentuk dan ukurannya. Hal ini bertujuan untuk memperoleh hasil yang seragam sehingga akan menarik minat konsumen saat dipasarkan.

BUDIDAYA MELON SECARA HIDROPONIK








Selasa, 10 Desember 2013

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI EDAMAME (Glycine max (L.) Merr.) PADA BERBAGAI DOSIS ZEOLIT DAN JENIS PUPUK NITROGEN



PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI EDAMAME
(Glycine max (L.) Merr.) PADA BERBAGAI DOSIS ZEOLIT
DAN JENIS  PUPUK NITROGEN



 NANI YULIANTI, S.P

I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kedelai banyak digemari oleh masyarakat sebagai bahan pangan yang dapat dikonsumsi baik dalam bentuk olahan (tahu, tempe, susu, kecap) atau segar (cukup direbus). Masyarakat Indonesia pada umumnya mengkonsumsi kedelai dalam bentuk olahan, hanya sebagian kecil masyarakat menengah ke atas yang mengkonsumsi kedelai segar. Menurut Soewanto et al. (2007), penggunaan kedelai segar sebagai sayuran dan kudapan sekitar 5% dari total hasil panen. Kedelai segar yang bisa digunakan adalah edamame.
Permintaan kedelai segar di Indonesia sangat rendah dibandingkan kedelai kering, berbeda dengan masyarakat Jepang yang menyukai kedelai segar, sehingga Jepang merupakan negara pengimpor kedelai segar hijau dalam jumlah besar. Menurut Benziger dan Shanmugasundaram (1995), Jepang merupakan konsumen dan pasar utama edamame baik dalam bentuk segar maupun beku. Total  kebutuhan pasar edamame beku di Jepang berkisar antara 150.000-160.000 ton/tahun. Kebutuhan tersebut dipenuhi dengan cara mengimpor edamame dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Pada tahun 2005 Indonesia mengekspor 665 ton edamame segar beku, setara dengan 0,96% kebutuhan impor edamame Jepang. Impor edamame ke Jepang  terus meningkat setiap tahunnya, mencapai 60.000-70.000 ton/tahun (Soewanto 2007).
Menurut Badan Pusat Statistik (2012), kebutuhan kedelai masyarakat Indonesia meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2010, produksi kedelai di Indonesia sebesar 907.031 ton dan pada tahun 2011 mengalami penurunan menjadi 870.068 ton. Untuk memenuhi konsumsi kedelai dalam negeri sebesar 2,9 juta ton, Indonesia mengimpor kedelai sebanyak 2,08 juta ton atau senilai US$ 1,24 miliar. Produksi kedelai dalam negeri yang rendah disebabkan oleh rata-rata produktivitas kedelai di tingkat petani yang masih rendah (1,3 ton ha-1)         (Balitbang Pertanian 2008).
Upaya peningkatan produksi kedelai mencakup berbagai subsistem, mulai dari hulu (faktor produksi), produksi (on farm),  hilir hingga penunjang. Pemerintah memproyeksikan swasembada kedelai dapat dicapai pada tahun 2015. Upaya peningkatan produksi ini ditempuh melalui dua cara yaitu perluasan areal tanam dan peningkatan produktivitas. Teknologi utama yang dibutuhkan dalam peningkatan produktivitas adalah penggunaan benih unggul, pengendalian organisme pengganggu tanaman secara terpadu, perbaikan kesuburan lahan dengan pemupukan sesuai kebutuhan, waktu musim tanam yang sesuai dan rotasi tanaman (Balitbang Pertanian 2005).
Pemupukan yang sesuai kebutuhan tanaman dapat meningkatkan  pertumbuhan dan produktivitas tanaman, karena hara  menentukan pertumbuhan tanaman dan hasil biji  (John dan David 2001). Salah satu hara yang membatasi pertumbuhan tanaman adalah nitrogen (N). Pada kedelai, pupuk N diberikan sebagai starter sebelum bintil akar berfungsi, maupun sebagai pupuk tambahan untuk memenuhi kebutuhan N yang tinggi pada saat pengisian polong (Zapata et al 1987; Eagly et al. 1981). Tanaman legum dengan bintil akarnya dapat memanfaatkan nitrogen dari udara maupun nitrogen anorganik dari dalam tanah (Hardjowigeno 2003) dalam bentuk ion amonium dan nitrat (Taiz dan Zeiger 1998). Nitrat mula-mula direduksi jadi nitrit oleh nitrat reduktase, sedangkan gas nitrogen disemat oleh nitrogenase (Hardjowigeno 2003). Penambatan N pada tanaman kedelai bergantung pada ketersediaan air, inokulasi, pemupukan N dan kandungan N dalam tanah ( Herridge 1991). Kebutuhan N tanaman kedelai mencapai 92 g kg-1 biji untuk mencapai produksi biji yang optimum (John dan David 2001).
Pemupukan N  dengan dosis 400 kg ha-1 pada kedelai menghasilkan bobot biji kering tertinggi (1762,7 kg ha-1) (Ghulamahdi dan Azis 1992). Pada padi, peningkatan penggunaan pupuk urea 600 kg ha-1 dapat meningkatkan kadar protein beras sebesar 2,96% (Setyono 2008).
Pupuk nitrogen dapat diserap oleh tanaman setelah mengalami hidrolisis menjadi NH4+ dan NO3-. Amonium  mempunyai sifat mudah menguap dan dapat diikat oleh mineral lilit sehingga tidak dapat diserap oleh tanaman, sedangkan N dalam bentuk NO3- mudah dicuci oleh air hujan (Hardjowigeno 2003). Pemberian N berlebih mengakibatkan sebagian mikroorganisme tanah tidak dapat berkembang (Suwardi dan Darmawan 2009 ). Pemberian N dosis tinggi dapat menurunkan infeksi bakteri Rhizobium melalui bulu akar, jumlah bintil akar dan  menghambat enzim nitrogenase (Mulatsih et al.2000). Penggunaan pupuk  nitrogen yang berlebih dapat merusak dan mengakibatkan tanah tidak responsif lagi terhadap pemupukan sehingga produksi pertanian sulit ditingkatkan (Suwardi, 2004).
Berdasarkan senyawa dasar pembentuknya, pupuk N dibedakan atas amida, amonium dan nitrat. Urea merupakan sumber pupuk nitrogen yang bersenyawa dasar amida. Urea dapat langsung dimanfaatkan oleh tanaman, akan tetapi biasanya di dalam tanah diubah menjadi amonium dan nitrat melalui proses amonifikasi dan nitrifikasi oleh bakteri tanah (Leiwakabessy dan Sutandi 2004). Swavelzure amoniak (ZA) atau amonium sulfat (AS) merupakan pupuk nitrogen yang bersenyawa dasar amonium (Leiwakabessy dan Sutandi 2004), bersifat mudah larut dan cara kerjanya cepat (Hardjowigeno 2003). Selain dari pupuk urea dan ZA sumber N juga dapat diperoleh dari pupuk NPK dan kompos. NPK merupakan pupuk majemuk yang mengandung N dalam bentuk amonium dan nitrat dengan sifatnya yang sangat higroskopik (Hardjowigeno 2003). Kompos adalah bahan organik yang telah mengalami dekomposisi sehingga dapat meningkatkan unsur hara tersedia bagi tanaman (Hartatik dan Widowati 2006).
Sifat utama N adalah mobilitasnya yang tinggi baik di dalam floem maupun pada larutan tanah, sehingga diperlukan upaya untuk mengurangi kehilangannya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan bahan yang dapat menjerap unsur tersebut, antara lain zeolit.
Zeolit merupakan bahan pembenah tanah alami yang dapat mengikat hara yang diberikan melalui pupuk sehingga mencegah pencucian hara (Al Jabri et al.2011). Pemberian zeolit ke dalam tanah dapat memperbaiki sifat fisika dan kimia tanah. Zeolit dalam hal ini dapat berfungsi sebagai pembenah tanah (soil conditioner), pembawa unsur pupuk, pengontrol pelepasan ion NH4+ (slow release fertilizer) dan menjaga kelembaban tanah (Sastiono 2004). Penggunaan bahan mineral zeolit dapat berpengaruh lebih baik terhadap sifat-sifat tanah jika diberikan dengan bahan organik (Dariah 2007). Pengikatan ion amonium oleh zeolit sifatnya sementara, dan akan dilepas kembali ke dalam tanah pada saat ion amonium dalam tanah telah berubah menjadi nitrat (Suwardi dan Darmawan 2009). Penambahan zeolit juga dapat memperbaiki agregasi tanah sehingga meningkatkan pori udara tanah yang berakibat merangsang pertumbuhan akar tanaman. Luas permukaan partikel tanah menjadi bertambah yang berakibat meningkatnya jumlah unsur hara yang dapat diserap oleh akar tanaman (Putra 2009).
 Berdasarkan sifat pupuk nitrogen yang mudah hilang dan kemampuan zeolit untuk mengikat hara, maka perlu dilakukan penelitian mengenai jenis pupuk N dan dosis zeolit yang tepat untuk pertumbuhan dan hasil produksi tanaman kedelai edamame.
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis pupuk nitrogen  dan  dosis zeolit yang tepat untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi kedelai edamame.
1.3 Hipotesis
  1. Terdapat jenis pupuk nitrogen yang tepat untuk pertumbuhan dan produksi kedelai edamame.
  2. Terdapat dosis zeolit yang tepat untuk pertumbuhan dan produksi  kedelai edamame.
  3. Terdapat pengaruh interaksi antara jenis pupuk nitrogen dan dosis zeolit pada pertumbuhan dan produksi kedelai edamame.
II TINJAUAN PUSTAKA 
2.1 Sejarah Edamame

Kedelai merupakan tanaman asli Cina yang telah dibudidayakan sejak 2500 tahun SM. Sejalan dengan berkembangnya perdagangan antarnegara, kedelai tersebar ke berbagai negara tujuan perdagangan yaitu Jepang, Korea, Indonesia, India, Australia dan Amerika. Awal mula penyebaran dan pembudidayaan kedelai di Indonesia yaitu di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara (Irwan 2006).

Edamame berasal dari bahasa Jepang. Eda berarti cabang dan mame berarti kacang, dapat diartikan sebagai buah yang tumbuh di bawah cabang (branched bean). Di Cina edamame dikenal dengan sebutan mao dou (hairy bean) atau kacang berambut (Miles et al. 2000). Orang Eropa terutama Inggris lebih mengenal jenis kedelai ini dengan nama vegetable soybean (kedelai sayur) atau green soybean dan sweet soybean. Edamame dapat didefinisikan sebagai kedelai berbiji sangat besar(>30g/100 biji) yang dipanen muda dalam bentuk polong segar pada stadia R-6 (berbiji penuh), dan dipasarkan dalam bentuk segar (fresh edamame) atau dalam keadaan beku (frozen edamame) (Benziger dan Shanmugasundaram 1995).
2.2 Kandungan Gizi dan Manfaat Kedelai
Setiap 100 gram kedelai edamame mengandung protein 30,20 g, kalori 286 kal, lemak 15,6 g, kalsium 196 mg, fosfor 506 mg, besi 6,90 mg, vitamin A 95 SI, vitamin B1 0,93 mg, karbohidrat 30,1 g dan air 20 g (Samsu 2001).
Kedelai berperan penting dalam penyediaan bahan pangan bergizi bagi penduduk dunia, sehingga disebut “ Gold from the soil “ dan disebut juga “ The world’s miracle “ karena kandungan asam aminonya yang tinggi. Tiap satu gram asam amino kedelai mengandung 340 mg isoleusin, 480 mg leusin, 400 mg lisin, 310 mg fenilalanin, 200 mg tirosin, 80 mg metionin, 110 sistin, 250 mg treonin, 90 mg triptofan dan 330 mg valin. Selain berguna untuk mencukupi kebutuhan gizi tubuh, kedelai juga berkhasiat sebagai obat beberapa penyakit. Hasil penelitian di Inggris menunjukkan bahwa kedelai berkhasiat mencegah kanker dan jantung koroner. Senyawa fenolik dan asam lemak tak jenuh yang terdapat dalam kedelai dapat menghalangi munculnya bentuk senyawa nitrosiamin (senyawa karsinogenik penyebab kanker). Di samping itu, kadar lecitin dalam kedelai juga dapat menghancurkan timbunan lemak dalam tubuh, sehingga secara tidak langsung dapat menekan penyakit darah tinggi dan diare. Kandungan kalsium yang tinggi pada edamame dapat menjadikan tulang dan gigi kuat dan membantu mencegah penyakit jantung dan kanker usus besar. Edamame juga mengandung kadar zat besi yang cukup tinggi, folate dan vitamin B yang berguna untuk memperlancar aliran darah dan meningkatkan kandungan oksigen di dalam darah. Dengan demikian otak dan otot dapat bekerja secara optimal (Samsu 2001).
Kedelai juga dapat meningkatkan metabolisme dan kadar energi, dan membantu membangun otot dan sel-sel sistem imun. Selain itu, kedelai edamame juga mengandung isoflavon. Isoflavon dalam kedelai merupakan antioksidan penangkal radikal bebas, meningkatkan sistim kekebalan dan menurunkan resiko pengerasan arteri (artherosclerosis) dan tekanan darah tinggi. Berbagai hasil penelitian yang telah dilakukan di Jepang menyatakan, bahwa wanita Jepang yang mengkonsumi kedelai secara rutin memiliki resiko terserang kanker payudara pada tingkat lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak mengkonsumsi kedelai (Stephan 2009). Oleh karena itu kebutuhan kedelai segar akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat tentang kesehatan dan makanan bergizi.
2.3 Klasifikasi dan Morfologi Kedelai
Tanaman kedelai dikenal dengan beberapa nama botani Glycine soja dan Soja max. Kedelai termasuk dalam kingdom Plantae, divisi Spermatophyta, sub-divisi Angiospermae, kelas Dicotyledoneae, ordo Rosales, famili Leguminosae, sub-famili Papilionaceae, genus Glycine, spesies Glycine max (L.) Merr. (Adisarwanto 2005). Berbagai varietas edamame yang pernah dikembangkan di Indonesia antara lain Ocunami, Tsuronoko, Tsurumidori, Taiso dan Ryokkoh. Warna bunga varietas Ryokkoh adalah putih, sedangkan varietas yang lainnya ungu. Saat ini varietas yang dikembangkan untuk produk edamame beku adalah Ryokkoh asal Jepang dan R 75 asal Taiwan (Soewanto et al. 2007)
Edamame merupakan tanaman semusim, tumbuh tegak, daun lebat, dengan beragam morfologi. Tinggi tanaman edamame berkisar antara 30 sampai lebih dari 50 cm, bercabang sedikit atau banyak, bergantung pada varietas dan lingkungan hidupnya. Tanaman kedelai memiliki daun majemuk yang terdiri atas tiga helai anak daun (trifoliolat) dan umumnya berwarna hijau muda atau hijau kekuning-kuningan (Irwan 2006). Bentuk daun kedelai ada yang bulat (oval) dan lancip (lanceolate). Kedua bentuk daun tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik (Andrianto dan Indarto 2004). Daun pertama yang keluar dari buku sebelah atas kotiledon berupa daun tunggal yang letaknya berseberangan (anifoliolat). Daun-daun yang terbentuk kemudian adalah daun-daun trifoliolat (Soewanto et al. 2007).
Tanaman kedelai memiliki sistem perakaran tunggang, yang bercabang membentuk akar sekunder. Selain itu kedelai juga seringkali membentuk akar adventif  yang tumbuh dari bagian bawah hipokotil. Akar tunggang pada kedelai umumnya tumbuh mencapai kedalaman 30-50 cm, bahkan dapat mencapai 2 meter pada kondisi tanah yang optimal. Akar sekunder tumbuh mencapai 20-30 cm ke dalam tanah. Pada akar cabang terdapat bintil akar yang merupakan simbiosis bakteri Rhizobium dengan tanaman kedelai, bintil akar berfungsi untuk menambat N2 dari udara bebas (Andrianto dan Indarto 2004).
Pertumbuhan batang kedelai memiliki dua tipe yaitu determinate dan indeterminate. Perbedaan sistem pertumbuhan batang ini didasarkan atas keberadaan bunga pada pucuk batang. Pertumbuhan batang tipe determinate dicirikan dengan tidak tumbuhnya lagi batang setelah tanaman mulai berbunga, sedangkan tipe indeterminate dicirikan dengan masih tumbuhnya batang dan daun setelah tanaman berbunga (Adisarwanto 2005). Selain itu terdapat varietas tanaman kedelai hasil persilangan yang mempunyai tipe batang yang mirip keduanya sehingga dikategorikan sebagai semi-determinate atau semi-indeterminate (Irwan 2006).
Kedelai berbunga sempurna, yaitu memiliki benang sari dan putik dalam satu bunga. Mahkota bunga akan rontok sebelum membentuk polong (Rukmana dan Yuniarsih 1996). Bunga kedelai menyerupai kupu-kupu, berwarna putih atau ungu. Tangkai bunga umumnya tumbuh dari ketiak daun. Jumlah bunga pada setiap ketiak daun beragam antara 2-25 bunga bergantung pada kondisi lingkungan tumbuh dan varietas. Bunga kedelai pertama pada umumnya terbentuk pada buku ke lima, ke enam, atau pada buku yang lebih tinggi. Periode berbunga pada tanaman kedelai cukup lama yaitu 3-5 minggu untuk daerah subtropik dan 2-3 minggu di daerah tropik (Departemen Pertanian 1989). Tanaman kedelai di Indonesia mulai berbunga pada umur 30-50 hari setelah tanam (Fahrudin 2000).
Polong kedelai terbentuk 7-10 hari setelah munculnya bunga mekar. Jumlah polong yang terbentuk pada setiap ketiak daun beragam antara 1-10 polong. Jumlah polong pada setiap tanaman dapat mencapai lebih dari 50 bahkan ratusan. Kulit polong kedelai berwarna hijau, sedangkan biji bervariasi dari kuning, hijau sampai hitam. Pada setiap polong terdapat biji yang berjumlah 1, 2 dan 3 biji, polong kedelai berukuran 5,5 cm sampai 6,5 cm bahkan ada yang mencapai 8 cm. Biji berdiameter antara 5 mm sampai 11 mm (Andrianto dan Indarto 2004).
Berdasarkan ukuran bijinya, kedelai dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok:
  1. Berbiji kecil, bobot biji 6-15 g/100 biji, umumnya dipanen dalam bentuk biji (grain soybean), pada saat tanaman berumur tiga bulan.
  2. Berbiji besar, dengan bobot biji 15-29 g/100 biji, ditanam di daerah tropik maupun subtropik, dipanen dalam bentuk biji. Hasil biji umumnya digunakan sebagai bahan baku minyak, susu dan makanan lain.
  3. Berbiji sangat besar, bobot 30-50 g/100 biji, biasanya ditanam di daerah subtropik, seperti Jepang, Taiwan dan Cina. Kedelai dipanen dalam bentuk polong segar masih berwarna hijau, disebut juga kedelai sayur (vegetable soybean), dipanen pada umur dua bulan. Kelompok kedelai ini di Jepang disebut edamame (Chen et al. 1991).
Persyaratan kedelai edamame lebih ditekankan kepada ukuran polong muda (lebar 1,4-1,6 cm, dan panjang 5,5-6,5 cm), warna biji kuning hingga hijau, bentuk biji bulat hingga bulat telur dan warna hillum gelap hingga terang (Shanmugasundaram et al.  1991). 
 
2.2 Syarat  Tumbuh
Pertumbuhan tanaman kedelai sangat dipengaruhi oleh curah hujan, radiasi matahari dan suhu (Baharsjah 1993). Tanaman kedelai cocok ditanam di lahan terbuka pada suhu 24-30 0C. Suhu yang optimal dalam proses perkecambahan kedelai sekitar 30°C, sedangkan  untuk pembungaan 24 -25°C. Kedelai termasuk tanaman hari pendek sehingga tidak akan berbunga bila panjang hari melebihi batas kritis yaitu 15 jam perhari. Jika varietas kedelai yang berproduksi tinggi dari daerah subtropik dengan panjang hari 14-16 jam, ditanam di daerah tropik dengan rata-rata panjang hari 12 jam maka varietas tersebut akan mengalami penurunan produksi, karena masa bunganya menjadi pendek yaitu dari umur 50 hari-60 hari menjadi 35 hari sampai 40 hari setelah tanam (Rubatzky dan Yamaguchi 1998).
Di Indonesia, tanaman kedelai dapat tumbuh dengan baik di daerah dataran rendah sampai daerah dengan ketinggian 1200 m dari atas permukaan laut (Fachruddin 2000). Akan tetapi, umumnya pertumbuhan tanaman kedelai akan baik pada pada ketinggian tidak lebih dari 500 meter di atas permukaan laut. Kedelai dapat tumbuh baik pada tanah-tanah alluvial, regosol, grumosol, latosol, dan andosol. Selain itu kedelai menghendaki tanah yang subur, gembur dan kaya bahan organik, dengan keasamaan tanah (pH) yang cocok berkisar antara 5,8-7,0 (Nazzarudin 1993). 
2.3 Hama dan Penyakit
Hama pada tanaman kedelai terbagi kedalam dua kelompok stadia pertumbuhan tanaman yaitu stadia vegetatif dan stadia generatif (pembungaan dan pembuahan). Hama yang menyerang pada stadia vegetatif adalah lalat daun, kutu daun, thrips dan tungau. Pada stadia generatif hama yang menyerang adalah ulat penggerek polong. Pengendalian hama dilakukan dengan cara pemeriksaan rutin dan penyemprotan pestisida (Kirana et al. 2012)
Penyakit pada tanaman kedelai biasanya timbul pada stadia vegetatif yaitu penyakit karat, embun tepung dan penyakit yang ditimbulkan oleh bakteri. Pengendalian penyakit ini dilakukan melaui pemeriksaan rutin, eradikasi, penyemprotan fungisida atau biopestisida (Kirana et al. 2012).
 
2.4 Pupuk Nitrogen
Nitrogen merupakan salah satu unsur hara yang sangat penting bagi tanaman. Tanaman dapat menyerap unsur hara nitrogen dalam bentuk protein (bahan organik), senyawa-senyawa amino, nitrat (NO3-) dan amonium (NH4+) (Hardjowigeno 2003)
Tanaman kedelai dapat memperoleh hara N dari tanah, dari pupuk (organik dan anorganik) yang ditambahkan, maupun dari N udara melalui fiksasi bakteri Rhizobium sp. dalam bintil akar kedelai. Dengan demikian tanaman legum dapat menyediakan pupuk N sendiri bahkan dapat memberi kontribusi pada tanaman disekitarnya atau tanaman kompanionnya (Purwantari 2008). Pada kondisi optimum, 60% kebutuhan N kedelai dapat dipenuhi dari mekanisme fiksasi N-udara oleh bakteri Rhizobium sp dalam bintil akar tersebut (Balitkabi 2012). Akan tetapi untuk mendapatkan pertumbuhan dan hasil yang maksimum tanaman kedelai masih memerlukan penambahan nitrogen yang diberikan melalui pemupukan (Baharsjah, 1983). Meskipun demikian, hasil tanaman kacang berbiji biasanya tidak dapat ditingkatkan dengan pupuk nitrogen, sebab penambatan N2 menurun sejalan dengan penambahan jumlah pupuk nitrogen yang diserap. Untuk pupuk nitrat, penurunan ini akibat dari penghambatan penempelan rhizobium ke bulu akar, pengguguran benang infeksi, penurunan laju pertumbuhan bintil, penghambatan penambatan di dalam bintil yang telah terbentuk dan kematian bintil akar yang lebih cepat bila NO3- atau NH4+ ditambahkan (Robertson dan Farnden 1980; Streeter 1988).
Pemupukan nitrogen berfungsi dalam memperbaiki pertumbuhan vegetatif tanaman, pembentukan protein, klorofil, asam nukleat dan mengaktifkan koenzim (Hardjowigeno 2003), membentuk lemak dan berbagai persenyawaan organik lainnya (Lingga dan Marsono 2000). Protein merupakan penyusun utama protoplasma. Sebagian protein berfungsi sebagai enzim yang penting dalam proses metabolisme. Pemupukan nitrogen juga membantu tanaman untuk menyerap unsur hara lain, seperti kalium dan fosfor, merangsang tumbuhnya tunas, menambah tinggi tanaman, mengaktifkan pertumbuhan mikroba agar proses penghancuran bahan organik berjalan lancar (Jumin 2005).
Nitrogen lebih berperan dalam meningkatkan bagian protoplasma dibandingkan bagian bahan dinding sel, sehingga ukuran sel dan ketebalan dinding sel meningkat. Hal ini menyebabkan daun dan batang tanaman lebih sukulen dan kurang keras. Kandungan nitrogen yang tinggi menjadikan pertumbuhan vegetatif yang hebat, sukulen, tanaman mudah rusak, daun lebih hijau dan bertahan lama, sehingga untuk sejumlah tanaman menyebabkan keterlambatan pematangan (dalam kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan, produksi tanaman bisa gagal). Selain itu nitrogen juga kadang menahan pertumbuhan akar, membantu dalam produksi biji dan meningkatkan kandungan protein buah atau biji (Poerwowidodo 1992; Nyakpa et al. 1988).
Tanaman yang kekurangan nitrogen akan menampakkan pertumbuhan kerdil, pertumbuhan akar terbatas, daun-daun kuning dan gugur (Hardjowigeno, 2003). Kekahatan senyawa protein juga menaikkan nisbah C/N dan meningkatkan kandungan selulosa dan lignin. Membran sel yang menebal dan meningkatnya jaringan-jaringan berlignin, menyebabkan terjadinya pematangan lebih awal (Poerwowidodo 1992).
Bentuk pupuk N yang biasa digunakan adalah urea, ZA, NPK dan kompos. Pupuk urea memiliki rumus kimia CO(NH2)2, berbentuk kristal berwarna putih, memiliki kadar N tinggi (45-46 %), sehingga lebih ekonomik dibanding pupuk N lain. Pupuk urea bersifat higroskopik, yang mulai menarik uap air pada kelembaban nisbi udara 73%. Reaksi fisiologi urea agak masam dan untuk dapat diserap oleh tanaman, nitrogen dalam urea harus diubah dulu menjadi amonium dengan bantuan enzim tanah urease melalui proses hidrolisis:
CO(NH2)2 +2H2O                             (NH4)2 CO3
Bila urea diberikan ke tanah proses hidrolisis tersebut berlangsung cepat, sehingga mudah menguap sebagai amonia.
Amonium sulfat (ZA) memiliki rumus kimia (NH4)2 SO4, berbentuk kristal, berwarna putih, abu-abu, kebiru-biruan dan kuning. Kadar N amonium sulfat sekitar 20,5 – 21,0 %, tidak higroskopik, reaksi fisiologi masam, mudah larut dalam air dan cepat bekerjanya (Leiwakabessy dan Sutandi 2004).
NPK (15-15-15) merupakan pupuk majemuk lengkap karena mengandung tiga unsur hara utama yaitu 15% N, 15% P2O5 dan 15% K2O. Bentuk pupuk NPK berupa butiran yang sangat higroskopik, karena N nya dalam bentuk amonium dan nitrat. Kecepatan reaksi NPK tergolong sedang, dapat digunakan sebelum atau sesudah tanam, reaksi fisiologi sedang sampai agak masam (Hardjowigeno 2003). Pemakaian pupuk majemuk NPK akan memberi  suplai N yang cukup besar kedalam tanah. Wasis dan Fathia (2011) melaporkan bahwa pupuk NPK berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman Gmelina arborea Roxb..
Kompos adalah bahan organik yang dibusukkan  pada suatu tempat yang terlindung dari matahari dan hujan, dan kelembabannya diatur dengan menyiram air bila terlalu kering. Bahan untuk kompos bisa berupa sampah, atau sisa-sisa tanaman tertentu (Hardjowigeno 2003). Pengomposan dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara bagi tanaman, melalui pengubahan bentuk dari tidak tersedia menjadi tersedia. Pengomposan juga dapat meningkatkan kadar hara N, P, K, Ca dan Mg, menurunkan rasio C/N dan kadar air (Hartatik dan Widowati 2006). Pemberian 60 g  kompos pada 2 kg tanah pot-1 nyata menaikan hasil tanaman bayam (Subhan 1992). Menurut Alvarez et al. (1995), kompos berpengaruh secara langsung dengan melepas hara yang dikandungnya dan secara tidak langsung dengan mempengaruhi kapasitas tukar kation yang mempengaruhi serapan hara.
Kompos di dalam tanah dapat berpengaruh positif yaitu dapat merangsang pertumbuhan (kompos dari limbah peternakan ayam, sapi dan domba) atau negatif yaitu menghambat pertumbuhan tanaman (kompos dari peternakan babi). Menurut  Melati (1990) dan Seviana (2003) pemberian pupuk kandang ayam dapat meningkatkan produksi kedelai. Pemberian pupuk 10 ton   ha-1 pupuk kandang ayam dapat meningkatkan pertumbuhan vegetatif dan produksi kedelai organik. Interaksi antara pupuk kandang 10 ton ha-1 dan pupuk hijau berpengaruh terhadap bobot basah bintil akar dan bobot basah 100 butir kedelai (Melati dan Andriyani 2005).

2.5 Zeolit
Zeolit pertama kali ditemukan oleh seorang ahli mineral bangsa Swedia, Baron Axel Fredrik Crondstedt pata tahun 1756 (Hardjanto 1983). Zeolit merupakan kristalin alumina silikat dengan kerangka anoniak kaku, terdiri dari kanal dan rongga. Struktuk zeolit yang porous (berpori-pori mikro) menyebabkan zeolit mampu menyerap molekul lain yang ukurannya lebih kecil dari pori-pori mikro, sedangkan bahan yang ukurannya lebih besar tidak dapat lolos dari pori-pori tersebut. Manfaat zeolit dalam kehidupan yaitu sebagai agen pendehidrasi, penukar ion (ion exchanger), penyerap bau, penyerap molekul polutan, sebagai katalis dan pengatur sistem pemupukan tanaman. Sebagai pengatur sistem pemupukan, zeolit akan menampung pupuk dalam rongga-rongga kanalnya, melepas untuk tanaman secara bertahap, sehingga lebih efektif dan efisien, serta tidak mudah larut oleh air (Trisunaryati 2009).
 Zeolit mempunyai kemampuan menyerap dan melepas air secara bolak balik dan menyerap kation tanpa mengubah strukturnya, serta mempunyai kapasitas tukar kation yang tinggi (Usri 1991). Selain itu zeolit juga berfungsi sebagai stabilisator dalam meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk (Trisunaryati 2009). Zeolit yang dicampur dengan pupuk urea mampu mengikat ion amonium yang dilepas urea pada saat penguraian. Rongga zeolit yang berukuran 2-8 Angstrom sesuai dengan ukuran ion amonium. Pemberian zeolit yang diikuti pupuk anorganik dan pupuk organik dapat meningkatkan efisiensi serapan hara pupuk. Pemberian zeolit dan pupuk organik secara bersama-sama sebagai pembenah tanah dapat memperbaiki struktur dan stabilitas agregat tanah, meningkatkan KTK sehingga dapat mencegah pencucian unsur hara dalam tanah dan meningkatkan hara yang diserap tanaman (Al-Jabri et al.2011). Penambahan bahan zeolit dapat  meningkatkan kapasitas penyerapan unsur hara N, P dan K 21% lebih tinggi dibandingkan tanpa aplikasi zeolit (kontrol petani) serta meningkatkan kapasitas  menahan air (kelembaban  tanah), terutama pada tanah berpasir (Riyanto et al. 2004). Zeolit dapat mempertahankan kelembaban tanah yang lebih lama (Al-Jabri 2009)
Pengikatan akan lebih efektif jika zeolit yang ditambahkan yang dicampurkan ke dalam pupuk urea lebih banyak karena komplek jerapan dan rongga dapat menangkap ion amonium semakin banyak. Di lain pihak zeolit yang terlalu banyak dapat mengikat nitrogen semakin kuat (Al-Jabri 2009). Penelitian Suwardi dan Darmawan (2009) menunjukan campuran urea zeolit dan asam humat mampu memperlambat pelepasan nitrogen menjadi nitrat. Kehilangan pupuk yang diakibatkan oleh penguapan dan pencucian menjadi lebih sedikit sehingga tanaman padi Ciherang mempunyai kesempatan menyerap nitrogen lebih banyak.  Menurut Estiaty et al. (2006) zeolit tidak hanya berperan dalam meningkatkan efisiensi pupuk N, tetapi bersama-sama dengan pupuk kandang juga meningkatkan ketersediaan P dan K dalam tanah.
Al-Jabri (2009) dan Soewardi (1996) melaporkan bahwa pemberian zeolit mampu meningkatkan efisiensi pemupukan urea, KCl dan Ponska. Struktur zeolit yang berpori-pori dengan permukaan yang bermuatan negatif dapat mengurangi pencucian hara NH4+ dari urea dan K+ dari KCl atau pupuk ponska di daerah perakaran. Unsur-unsur hara tersebut akan tertahan atau tinggal lebih lama di daerah perakaran sehingga terjadi efisiensi penggunaan pupuk urea, KCl atau ponska.
Zeolit mengandung ion Na, K, Mg dan Ca yang dapat dipertukarkan, memiliki stabilitas termal yang tinggi, harganya murah serta keberadaannya cukup melimpah (Syafi’i et al 2010). Di bidang pertanian zeolit dapat berperan memperbaiki kualitas tanah dan meningkatkan produksi. Zeolit dapat mempercepat pertumbuhan tanaman tomat, meningkatkan jumlah dan intensitas warna hijau dan dapat meningkatkan tangkai buah, sehingga mampu meningkatkan hasil sampai 35%. Zeolit juga memberikan peningkatan hasil yang baik pada tanaman kedelai (19 %), jagung (11 %)dan kacang tanah (18 %) (Suwardi 2007). Pemberian 1750 kg ha-1 zeolit mampu meningkatkan produksi kering kedelai sebesar 20% dibanding tanpa zeolit (Ernawanto et al. 2010).
Aplikasi zeolit berbeda dengan bahan pembenah tanah lainnya, seperti kapur pertanian dan gipsum, karena zeolit tidak mengalami degradasi sehingga jumlahnya relatif tetap dalam tanah. Aplikasi zeolit berikutnya lebih memperbaiki  kemampuan tanah untuk menahan unsur hara dan memperbaiki hasil. Zeolit tidak asam dan penggunannya dengan pupuk dapat menyangga pH tanah sehingga mengurangi takaran kapur (Al-Jabri 2009)..
Hasil penelitian menunjukkan pemberian zeolit dapat meningkatkan hasil padi. Konsentrasi N dan K yang diserap tanaman padi tertinggi pada umur 6 MST pada perlakuan zeolit 125 kg/ha. Serapan N menurun seiring makin tingginya takaran zeolit. Hal ini menunjukan semakin banyak N yang memasuki pori-pori zeolit dan akan dilepaskan kembali secara perlahan untuk diserap tanaman (Al-Jabri 2009). 


III METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan mulai bulan  Februari 2013 sampai dengan  April 2013, di Kebun Percobaan Jurusan Agroteknologi Universitas Djuanda, Ciawi-Bogor.

3.2  Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi benih kedelai edamame varietas Ryokoh, Urea (45%N),  ZA (21 % N), NPK (15-15-15), kompos (2,25 % N), SP-36 (36% P2O5), KCl (60% K2O), fungisida, insektisida dan zeolit . Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi polibeg, pisau, timbangan analitik dan digital, meteran, emrat dan oven.

3.3 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial  dengan dua faktor. Faktor pertama adalah jenis pupuk nitrogen yang terdiri  atas empat taraf yaitu N1 = Urea (45%N) sebanyak 0,8 g/tan, N2 = Amonium Sulfat (21%N) sebanyak 1,8 g/tan, N3 = NPK (15%N) sebanyak 2,5 g/tan dan N4 = kompos (2,25 % N) sebanyak 16,7 g/tan, dosis N pada tiap jenis pupuk adalah 0,375 g/tan (Kirana et al. 2012). Faktor kedua adalah dosis zeolit yang terdiri atas empat taraf yaitu Z0 (tanpa zeolit), Z1 (4 g/tan), Z2 (7 g/tan) dan Z3 (10 g/ tan).
Model statistik Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial adalah sebagai berikut:
Keterangan :
Yijk           = nilai pengamatan karena pengaruh jenis pupuk nitrogen taraf
ke-i dan dosis zeolit yang diberikan ke-j, ulangan ke-k
i                 = taraf dari jenis pupuk nitrogen
j                 = taraf dari dosis zeolit
k                = ulangan
              = nilai tengah umum (dari semua perlakuan)
Ni              = nilai pengaruh dari jenis pupuk nitrogen ke-i
Zj               = nilai pengaruh dari dosis zeolit ke-j
(NZ)ij        = Pengaruh interaksi taraf ke-i dari faktor jenis pupuk nitrogen dan taraf  ke-j faktor  dosis zeolit
 ijk         = Pengaruh galat ulangan ke-k yang mendapat kombinasi perlakuan
taraf ke-i jenis pupuk nitrogen dan taraf ke-j dosis zeolit
Untuk melihat pengaruh dari masing-masing perlakuan percobaan dilakukan sidik ragam (Uji F), bila berpengaruh nyata dilakukan Uji Jarak Ganda Duncan (DMRT) pada taraf nyata 5%.

3.4 Pelaksanaan Penelitian
3.4.1 Persiapan Media Tanam
            Tanah yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah top soil  pada kedalaman 0-20 cm dari permukaan tanah yang diambil langsung dari Kebun Percobaan Agroteknologi Universitas Djuanda Bogor. Tanah dikeringkan selama tiga hari di dalam green house, kemudian disaring dengan menggunakan ayakan yang berdiameter 1 cm agar didapat tanah yang homogen. Tanah yang telah diayak dimasukkan ke dalam polibag berukuran 35 cm x 35 cm, sebanyak 8 kg/ polibag. Zeolit yang digunakan berbentuk granul, diberikan seminggu sebelum tanam dengan cara dicampur dengan tanah.
3.4.2 Pemupukan
            Pemberian pupuk N dan KCl dilakukan dua kali yaitu pada saat tanam dan  umur 4 MST, masing-masing setengah dosis. Pemupukan TSP diberikan satu kali pada saat tanam.
3.4.3 Penanaman
            Benih kedelai ditanam pada lubang  dengan kedalaman 3-4 cm dengan jarak antar polibag 20 cm x 20 cm. Setiap lubang ditanam dua benih kedelai. Bersamaan dengan penanaman diberikan Furadan 3G dengan dosis 0.3 gram/tanaman. Penyulaman dilakukan pada tanaman berumur 1 minggu setelsh tanam (MST) sampai dengan umur 2 MST
3.4.4 Pemeliharaan
Pengendalian hama dan penyakit mulai dilakukan pada minggu kedua. Pengendalian juga dilakukan sewaktu- waktu, apabila terjadi serangan hama dan penyakit yang mencolok. Pengendalian hama penyakit ini menggunakan insektisida, fungisida dan sex feromonoid, sedangkan pengendalian gulma dilakukan secara manual dengan cara dicabut dan menggunakan kored.
3.4.5 Panen
            Panen dilakukan secara bertahap pada umur 3 MST, 6 MST, 8 MST dan 10 MST. Panen pada umur 3 MST dan 6 MST bertujuan untuk mengamati pertumbuhan bintil akar. Pada umur 8 MST, merupakan panen polong pertama dan panen polong ke-dua (terakhir) dilakukan pada umur 10 MST.   
3.4.6 Pengamatan
Peubah yang diamati antara lain:
  1. Tinggi tanaman, diukur dari leher akar hingga titik tumbuh tertinggi. Pengukuran dilakukan setiap minggu, mulai 2 MST sampai dengan 5 MST.
  2. Jumlah daun, dihitung daun trifoliolat dilakukan setiap minggu, mulai dari 2 MST sampai dengan 5 MST.
  3. Luas daun contoh, diukur pada saat tanaman berumur 8 MST dengan metode gravimetri.
  4. Jumlah polong, dihitung pada saat panen umur 6, 8 dan 10 MST.
  5. Jumlah polong berbiji 1, 2 dan 3, dihitung pada saat panen
  6. Persentase polong isi (PPI), dihitung pada saat panen. Rumus yang digunakan adalah
  1. Bobot polong per tanaman (segar dan kering), Penghitungan bobot polong pertanaman dilakukan pada saat panen (untuk polong segar) pada umur 6, 8 dan 10 MST.
  1. Bobot basah  tanaman total, dihitung pada umur 3, 6 dan 10 MST. 
  2.  Bobot  basah akar, dihitung pada umur 3, 6 dan 10 MST. 
  3.  Bobot  basah tajuk, diukur pada umur 3, 6 dan 10 MST. 
  4.  Jumlah dan bobot bintil akar, dihitung berdasarkan jumlah bintil akar yang terbentuk, tanpa memperhatikan ukuran bintil. 
  5.  Pengukuran bobot kering dilakukan setelah bahan di oven pada suhu 1050 C selama 10 jam.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kedaan Umum
Selama penelitian berlangsung rata-rata suhu harian berkisar antara 20 0C sampai 33 0C, dengan kelembaban udara antara 57 % sampai 91 %. Kondisi ini masih dalam kisaran syarat tumbuh kedelai, sehingga secara umum tanaman dapat tumbuh baik / normal.
Pada umur 1 minggu setelah tanam (MST), beberapa tanaman edamame terserang hama belalang yang menyerang bagian batang dan daun, yang menyebabkan sebagian tanaman patah dan daunnya rusak. Pengendalian hama belalang dilakukan secara kimiawi menggunakan insektisida kontak agar serangan hama tidak meluas terhadap tanaman lainnya. Pada umur 2 dan 3 MST, beberapa tanaman kedelai edamame terserang hama ulat penggulung daun (Hedylepta indicata)  dan pelipat daun. Serangan hama penggulung daun menyebabkan daun menjadi tergulung dan rusak, sedangkan ulat pengerat daun memakan  klorofil. Pengendalian hama dilakukan secara manual dengan memotong daun tanaman yang terserang dan secara kimiawi menggunakan insektisida kontak.
Tanaman sudah 50% berbunga pada umur 30 hari setelah tanam (HST). Periode pembungaan terjadi mulai 27 HST sampai 56 HST. Pada saat tanaman berbunga dan membentuk polong, tanaman diserang hama belalang, walangsangit, lalat buah, kepik hijau (Nezera viridula), kutu daun (Aphis glicines matsumura) dan ulat buah (Helicoverpa armigera). Pengendalian hama tersebut dilakukan secara manual, dan kimiawi menggunakan insektisida kontak Curacron 500 EC (berbahan aktif profenofos 500 g/l ), dengan konsentrasi 1 ml/l air dan dilakukan dengan cara disemprot. Lalat buah dapat dikendalikan dengan perangkap hama (sex feromonoid).
4.2. Hasil
4.2.1. Tinggi tanaman
Hasil sidik ragam ( Lampiran 1 ) menunjukkan tinggi tanaman dipengaruhi oleh dosis zeolit (pada umur 3-5 MST), tetapi tidak dipengaruhi oleh jenis pupuk N dan interaksi antara jenis pupuk N dan dosis zeolit. Pada umur 3-5 MST tinggi tanaman kedelai edamame yang diberi zeolit dengan dosis 10 g/tan nyata lebih rendah dibandingkan dengan yang diberi zeolit 0 g/tan, 4 g/tan dan 10 g/tan (Tabel 1).
Tabel 1 Tinggi tanaman edamame umur 2, 3, 4, dan 5 MST pada berbagai dosis zeolit dan jenis pupuk N
Perlakuan
Tinggi tanaman (cm)
2 MST
3 MST
4 MST
5 MST
Jenis Pupuk N

Urea
14.04
20.68
30.86
37.08
ZA
14.23
21.55
32.31
39.60
NPK
13.99
20.78
30.60
36.28
Kompos
14.30
21.36
32.46
37.28
Dosis Zeolit (g/tan)

0
14.61
21.88 b
31.88 b
39.11 b
4
14.24
21.85 b
33.46 b
38.92 b
7
14.13
21.60 b
33.42 b
39.17 b
10
13.60
19.06 a
27.46 a
33.03 a
Keterangan : Nilai rata-rata pada kolom  yang sama diikuti huruf  yang sama  tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5 %.


4.2.2. Jumlah daun
Hasil sidik ragam ( Lampiran 2 ) menunjukkan jumlah daun tanaman kedelai edamame dipengaruhi oleh dosis zeolit (pada umur 3-5 MST), tetapi tidak dipengaruhi oleh jenis pupuk N dan interaksi antara jenis pupuk N dan dosis zeolit.
Jenis pupuk N tidak menyebabkan perbedaan jumlah daun, demikian juga dosis zeolit pada umur 2 MST. Tanaman yang diberi zeolit 10 g/tan menunjukkan jumlah daun nyata lebih rendah dibandingkan dengan tanaman yang diberi zeolit lebih rendah (Z0, Z1 dan Z2), tetapi pada umur 5 MST tidak berbeda nyata dengan yang diberi zeolit 7 g/tan (Tabel 2).
Tabel 2 Jumlah daun edamame umur 2, 3, 4, dan 5 MST pada berbagai dosis zeolit dan jenis pupuk N
Perlakuan
Jumlah daun
2 MST
3 MST
4 MST
5 MST
Jenis Pupuk N

Urea
1.00
2.46
5.47
10.94
ZA
1.10
2.75
6.14
12.03
NPK
1.00
2.62
5.61
10.39
Kompos
1.06
2.65
6.03
11.28
Dosis Zeolit (g/tan)

0
1.04
2.75 b
5.94 bc
12.11 b
4
1.02
2.81 b
6.69 c
11.77 b
7
0.98
2.58 b
5.83 b
10.91 ab
10
1.12
2.33 a
4.78 a
9.83 a
Keterangan : Nilai rata-rata pada kolom  yang sama diikuti huruf  yang sama  tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5 %.


4.2.3. Luas daun
Hasil sidik ragam ( Lampiran 3 ) menunjukkan interaksi jenis pupuk N dan dosis zeolit berpengaruh terhadap luas daun tanaman kedelai edamame. Tanaman kedelai edamame yang tidak diberi pupuk N menunjukkan luas daun tidak berbeda nyata pada berbagai dosis zeolit. Sementara pada tanaman kedelai yang dipupuk ZA, luas daun tanaman yang diberi zeolit 10 g/tan nyata lebih besar dibandingkan yang diberi zeolit dengan dosis lebih rendah. Luas daun tanaman kedelai yang diberi pupuk NPK dengan zeolit 10 g/tan nyata lebih rendah dibandingkan tanpa diberi zeolit, tetapi tidak berbeda nyata dengan yang diberi 4 dan 7 g zeolit /tan. Tanaman kedelai yang diberi pupuk kompos dengan  zeolit 7 g/tan nyata lebih tinggi dibanding tanpa diberi zeolit. Tanaman kedelai yang diberi zeolit 10 g/tan dengan pupuk ZA nyata memiliki luas daun lebih lebar dibanding dengan yang diberi pupuk urea, NPK dan kompos (Tabel 3 ).
Tabel 3 Luas daun edamame pada berbagai kombinasi dosis zeolit dan jenis pupuk N
Perlakuan
Dosis Zeolit (g/tan)
Jenis pupuk N
0
4
7
10
Urea
131.25 abc
140.75 bc
120.84 abc
109.52 ab
ZA
113.60 ab
141.20 bc
143.02 bc
189.18 d
NPK
134.42 bc
112.24 ab
125.37 abc
85.99 a
Kompos
108.17 ab
117.67 abc
162.02 cd
119.03 abc

Keterangan : Nilai rata-rata   yang  diikuti huruf  yang sama  tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5 %.




4.2.4. Panjang akar
Hasil sidik ragam ( Lampiran 4 ) menunjukkan perlakuan jenis pupuk N, dosis zeolit dan interaksi antara jenis pupuk N dan dosis zeolit tidak  berpengaruh nyata terhadap panjang akar . Dengan demikian tidak ada perbedaan panjang akar pada berbagai jenis pupuk N dan dosis zeolit yang berbeda (Tabel 14).
Tabel 4 Panjang akar edamame umur 3, 6 dan 10 MST pada berbagai dosis zeolit dan jenis pupuk N
Perlakuan
Panjang akar (cm)
3 MST
6 MST
10 MST
Jenis Pupuk N

Urea
32.61
52.33
54.42
ZA
36.04
52.25
55.00
NPK
35.25
51.58
56.08
Kompos
38.04
51.50
50.75
Dosis Zeolit (g/tan)

0
32.77
47.67
54.33
4
37.42
52.83
54.25
7
32.42
56.25
57.83
10
39.33
50.92
49.83

Keterangan : Nilai rata-rata pada kolom  yang sama diikuti huruf  yang sama  tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5 %.




 
4.2.5. Bobot basah akar
Hasil sidik ragam ( Lampiran 5 ) menunjukkan jenis pupuk N (pada umur 3 MST) dan dosis zeolit (3 dan 10 MST) sangat berpengaruh nyata terhadap bobot akar, tetapi interaksi antara jenis pupuk N dan dosis zeolit tidak berpengaruh nyata terhadap bobot akar.
Pada umur 3 MST, tanaman kedelai edamame yang diberi pupuk kompos menunjukan bobot akar nyata lebih besar dibandingkan tanaman kedelai yang di pupuk urea dan ZA, tetapi tidak berbeda nyata dengan yang diberi pupuk NPK. Pada umur 3 dan 6 MST, tanaman kedelai edamame yang diberi zeolit 10 g/tan nyata lebih rendah dibanding dengan yang diberi zeolit dengan dosis lebih rendah tetapi tidak berbeda nyata dengan yang diberi zeolit 7 g/tan pada umur 3 MST (Tabel 5).
Tabel 5 Bobot basah akar umur 3, 6 dan 10 MST pada berbagai dosis zeolit dan jenis pupuk N
Perlakuan
Bobot basah akar (g)
3 MST
6 MST
10 MST
Jenis Pupuk N


Urea
2.60 a
12.71
18.93
ZA
2.75 a
15.57
20.25
NPK
3.07 ab
14.49
15.66
Kompos
3.82 b
15.50
17.86
Dosis Zeolit (g/tan)

0
3.38 b
16.42 b
19.47
4
3.54 b
18.47 b
18.00
7
2.84 ab
15.32 b
22.11
10
2.48 a
8.06 a
13.12





Keterangan : Nilai rata-rata pada kolom  yang sama diikuti huruf  yang sama  tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5 %.


4.2.6. Jumlah bintil
Hasil sidik ragam ( Lampiran 6 ) menunjukkan perlakuan dosis zeolit sangat berpengaruh nyata pada umur 3 MST, tetapi jenis pupuk N dan interaksi antara jenis pupuk N dan dosis zeolit tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah bintil. Tanaman kedelai edamame yang diberi 10 g zeolit/ tan pada umur 3 MST menunjukkan jumlah bintil nyata lebih banyak dibandingkan tanaman kedelai yang diberi zeolit pada dosis yang lebih rendah (Tabel 6).
Tabel 6 Jumlah bintil umur 3, 6 dan 10 MST pada berbagai dosis zeolit dan jenis pupuk N
Perlakuan
Jumlah bintil
3 MST
6 MST
10 MST
Jenis Pupuk N

Urea
40.67
138.25
158.75
ZA
36.42
123.42
167.25
NPK
28.75
131.83
161.42
Kompos
30.33
158.33
165.25
Dosis Zeolit (g/tan)

0
25.92 ab
145.25
170.92
4
34.58 b
149.00
168.50
7
17.83 a
127.75
149.83
10
57.83 c
129.83
163.42
Keterangan : Nilai rata-rata pada kolom  yang sama diikuti huruf  yang sama  tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5 %.




4.2.7. Bobot bintil
Hasil sidik ragam ( Lampiran 7 ) menunjukkan dosis zeolit pada umur 3 MST sangat berpengaruh nyata, tetapi jenis pupuk N dan interaksi antara jenis pupuk N dan dosis zeolit tidak berpengaruh nyata terhadap bobot bintil. Pada umur 3 MST jumlah bintil akar tanaman edamame yang diberi 10 g zeolit/ tan lebih banyak dibandingkan dengan yang diberi zeolit lebih sedikit (Tabel 7).
Tabel 7 Bobot basah bintil umur 3, 6 dan 10 MST pada berbagai dosis zeolit dan jenis pupuk N
Perlakuan
Bobot basah bintil (g)
3 MST
6 MST
10 MST
Jenis Pupuk N

Urea
0.13
2.77
6.84
ZA
0.11
2.88
7.64
NPK
0.12
3.07
6.03
Kompos
0.09
3.39
6.65
Dosis Zeolit (g/tan)

0
0.06 a
2.83
7.06
4
0.06 a
3.31
6.57
7
0.04 a
2.57
6.78
10
0.27 b
3.40
6.75

Keterangan : Nilai rata-rata pada kolom  yang sama diikuti huruf  yang sama  tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5 %.

4.2.8. Bobot basah tajuk
Hasil sidik ragam ( Lampiran 8 ) menunjukkan dosis  zeolit sangat berpengaruh nyata terhadap bobot tajuk pada umur 6 MST, tetapi jenis pupuk N dan interaksi antara jenis pupuk N dan dosis zeolit tidak berpengaruh nyata terhadap bobot tajuk  tanaman kedelai edamame. Pada umur 6 MST tanaman kedelai yang diberi 10 g zeolit/ tan, menunjukkan bobot tajuk nyata lebih rendah dibandingkan dengan yang diberi zeolit lebih sedikit (Tabel 8).
Tabel 8 Bobot basah tajuk umur 3, 6 dan 10 MST pada berbagai dosis zeolit dan jenis pupuk N
Perlakuan
Bobot basah tajuk (g)
3 MST
6 MST
10 MST
Jenis Pupuk N

Urea
4.33
23.09
34.47
ZA
5.06
33.15
40.13
NPK
5.47
26.00
30.37
Kompos
5.47
28.57
34.28
Dosis Zeolit (g/tan)

0
5.47
29.37 b
38.12
4
5.75
33.31 b
35.95
7
5.08
29.49 b
36.37
10
4.04
18.65 a
26.81

Keterangan : Nilai rata-rata pada kolom  yang sama diikuti huruf  yang sama  tidak berbeda nyata  menurut uji DMRT pada taraf 5 %.



4.2.9. Jumlah bunga
Hasil sidik ragam (Lampiran 9) menunjukkan dosis zeolit sangat bepengaruh nyata terhadap jumlah bunga umur 32 HST sampai 42 HST, sedangkan jenis pupuk N dan interaksi antara jenis pupuk N dan dosis zeolit tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah bunga.
Pada umur 32 HST jumlah bunga tanaman edamame yang diberi zeolit 10 g/tan nyata lebih sedikit dibandingkan dengan yang diberi zeolit 4 g/tan, tetapi tidak berbeda nyata dengan yang tidak diberi zeolit dan yang diberi zeolit 7 g/tan. Pada umur 35 HST jumlah bunga tanaman edamame yang diberi zeolit 10 g/tan nyata lebih sedikit dibandingkan yang tidak diberi zeolit dan yang diberi zeolit 4 g/tan, tetapi tidak berbeda nyata dengan yang diberi zeolit 7 g/tan. Jumlah bunga tanaman edamame yang diberi zeolit 10 g/tan pada umur 42 HST nyata lebih sedikit dibandingkan yang diberi zeolit dengan dosis lebih rendah (Tabel 9).
Tabel 9 Jumlah bunga kedelai edamame pada umur 30 HST, 32 HST, 35 HST dan 42 HST pada berbagai dosis zeolit dan jenis pupuk N
Perlakuan
Jumlah bunga
30 HST
32 HST
35 HST
42 HST
    Jenis Pupuk N
Urea
3.44
10.77
19.80
28.81
ZA
4.39
10.44
20.64
30.39
NPK
3.14
9.90
18.55
26.25
Kompos
4.64
10.33
20.64
28.64
Dosis Zeolit (g/tan)
0
3.47
10.61 ab
21.17 b
32.92 c
4
5.19
12.61 b
21.30 b
29.44 b
7
3.50
9.26 a
19.66 ab
28.08 b
10
3.44
8.97 a
17.50 a
23.64 a

Keterangan : Nilai rata-rata pada kolom  yang sama diikuti huruf  yang sama  tidak berbeda nyata,  menurut uji DMRT pada taraf 5 %.




4.2.10. Jumlah polong
Hasil sidik ragam (Lampiran 10) menunjukkan jenis pupuk N, dosis zeolit dan interaksi antara jenis pupuk N dan dosis zeolit tidak berpengaruh terhadap jumlah polong pada 10 MST. Jumlah polong kedelai edamame relatif sama antar perlakuan tetapi pada 6 MST dosis zeolit berpengaruh nyata. Jumlah polong kedelai edamame yang diberi zeolit 10 g/tan nyata lebih sedikit dibandingkan dengan yang diberi zeolit dengan dosis lebih rendah (Tabel 10).
Tabel 10 Jumlah polong edamame umur 6 dan 10 MST pada berbagai dosis zeolit dan jenis pupuk N
Perlakuan
Umur Pengamatan
6 MST
10 MST
Jenis Pupuk N

Urea
15.92
35.00
ZA
17.25
35.42
NPK
13.42
29.50
Kompos
16.67
32.25
Dosis Zeolit (g/tan)

0
18.50 b
35.42
4
16.17 b
35.00
7
17.00 b
30.83
10
11.58 a
30.92
Keterangan : Nilai rata-rata pada kolom  yang sama diikuti huruf  yang sama  tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5 %.




4.2.11. Bobot polong
Hasil sidik ragam (Lampiran 11) menunjukkan perlakuan jenis pupuk N, dosis zeolit dan interaksi antara jenis pupuk N dan dosis zeolit tidak berpengaruh nyata terhadap bobot polong. Walaupun bobot polong tanaman edamame yang diberi zeolit Z3 cenderung lebih sedikit, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan lain  (Tabel 11).
Tabel 11 Bobot basah polong edamame umur 6 dan 10 MST pada berbagai dosis zeolit dan jenis pupuk N
Perlakuan
Bobot basah polong (g)
6 MST
10 MST
Jenis Pupuk N

Urea
11.17
66.39
ZA
12.36
74.19
NPK
12.12
62.94
Kompos
13.92
67.67
Dosis Zeolit (g/tan)

0
12.77
 71.39
4
13.62
72.25
7
13.67
66.82
10
9.50
60.73
Keterangan : Nilai rata-rata pada kolom  yang sama diikuti huruf  yang sama  tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5 %.




4.2.12. Persentase polong isi
Hasil sidik ragam (Lampiran 12) menunjukkan perlakuan jenis pupuk N dan dosis zeolit tidak berpengaruh nyata terhadap persentase polong isi dan persentase polong hampa, tetapi interaksi antara jenis pupuk N dan dosis zeolit sangat berpengaruh nyata terhadap persentase polong isi dan polong hampa. Perbedaan persentase polong isi hanya tampak pada tanaman yang diberi pupuk NPK dan 7 g zeolit/tan, yang nyata memiliki persentase polong isi lebih rendah dibanding kombinasi perlakuan lain (Tabel 12).
Tabel 12 Persentase polong isi kedelai edamame pada berbagai kombinasi dosis zeolit dan jenis pupuk N
Perlakuan
Dosis zeolit (g/tan)
Jenis pupuk N
0
4
7
10
Urea
100.00 b
98.33 b
100.00 b
100.00 b
ZA
100.00 b
100.00 b
100.00 b
100.00 b
NPK
100.00 b
100.00 b
88.17 a
99.00 b
Kompos
99.00 b
100.00 b
98.10 b
98.33 b
Keterangan : Nilai rata-rata  yang  diikuti huruf  yang sama  tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5 %.

4.2.13. Kualitas polong
Hasil sidik ragam (Lampiran 13) menunjukkan jenis pupuk N dan interaksi antara jenis pupuk N dan dosis zeolit berpengaruh nyata terhadap jumlah polong berbiji 3, sedangkan dosis zeolit tidak berpengaruh nyata.
Pada tanaman yang diberi pupuk urea, pemberian zeolit menyebabkan penurunan jumlah polong berbiji tiga. Sementara itu pada tanaman yang diberi pupuk ZA penambahan zeolit sampai 10 g/tan nyata meningkatkan jumlah polong berbiji tiga, dan pada tanaman yang diberi pupuk kompos jumlah polong berbiji tiga terbanyak terdapat pada tanaman yang diberi zeolit 7 g/tan (Tabel 13).
Tabel 13 Jumlah polong kedelai edamame berbiji 3 pada kombinasi dosis  zeolit dan jenis pupuk N
Perlakuan
Dosis zeolit (g/tan)
Jenis pupuk N
0
4
7
10
Urea
4.00 bc
2.00 ab
1.00 a
1.00 a
ZA
2.33 ab
4.00 bc
2.00 ab
6.33 d
NPK
2.67 ab
2.00 ab
2.00 ab
1.33 a
Kompos
1.00 a
2.67 ab
5.00 cd
1.00 a
Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti huruf  yang sama  tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5 %.




4.2.14. Bobot basah tanaman total
Hasil sidik ragam (Lampiran 14) menunjukkan dosis zeolit berpengaruh nyata pada umur 10 MST, tetapi jenis pupuk N dan interaksi antara jenis pupuk N dan dosis zeolit tidak berpengaruh nyata terhadap bobot tanaman total. Pada umur 10 MST, tanaman kedelai edamame yang diberi zeolit 10 g/tan menunjukkan bobot basah tanaman total nyata lebih rendah dibandingkan dengan yang diberi zeolit dengan dosis lebih rendah (Tabel 14).
Tabel 14 Bobot total tanaman umur 3, 6 dan 10 MST pada berbagai dosis zeolit dan jenis pupuk N
Perlakuan
Bobot basah total tanaman (g)
3 MST
6 MST
10 MST
Jenis Pupuk N

Urea
7.07
29.48
126.63
ZA
7.92
36.81
142.22
NPK
8.66
29.68
115.00
Kompos
9.39
35.64
126.47
Dosis Zeolit (g/tan)

0
8.91
37.68
136.04 b
4
9.36
38.66
132.77 b
7
7.97
31.57
132.08 b
10
6.80
23.71
109.42 a
Keterangan : Nilai rata-rata pada kolom  yang sama diikuti huruf  yang sama  tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5 %.

4.2.15. Bobot kering
Hasil sidik ragam (Lampiran 15) menunjukkan jenis pupuk N berpengaruh nyata terhadap bobot kering bintil akar, dosis zeolit bepengaruh nyata terhadap bobot akar dan bobot polong, sedangkan interaksi antara jenis pupuk N dan dosis zeolit tidak berpengaruh nyata terhadap seluruh bobot kering.
Bobot kering akar tanaman yang diberi zeolit 10 g/tan nyata lebih rendah dibandingkan dengan yang diberi zeolit lebih sedikit. Bobot kering bintil akar tanaman yang diberi pupuk ZA nyata lebih tinggi dibandingkan yang diberi pupuk NPK, tetapi tidak berbeda nyata dengan yang diberi pupuk urea dan kompos. Bobot kering  polong tanaman kedelai edamame yang diberi zeolit 10 g/tan nyata lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak diberi zeolit dan yang diberi zeolit, tetapi tidak berbeda nyata dengan yang diberi zeolit 7 g/tan (Tabel 15).
Tabel 15 Bobot kering akar, bintil, tajuk, polong dan total tanaman pada berbagai dosis zeolit dan jenis pupuk N
Perlakuan
Bobot kering
Akar
Bintil
Tajuk
Polong
Total
Jenis pupuk N

Urea
2.63
1.46 ab
11.26
15.92
31.27
ZA
3.00
1.67 b
13.46
18.03
36.16
NPK
2.19
1.25 a
9.80
14.78
28.02
Kompos
2.53
1.49 ab
11.34
15.64
31.01
Dosis Zeolit (g/tan)

0
2.79 b
1.52
12.42
17.72 b
34.46
4
2.72 b
1.41
12.35
17.45 b
33.92
7
2.95 b
1.42
11.94
14.85 ab
31.17
10
1.90 a
1.51
9.15
14.35 a
26.91
Keterangan : Nilai rata-rata pada kolom  yang sama diikuti huruf  yang sama  tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5 %.
4.3 Pembahasan
4.3.1 Pertumbuhan Vegetatif
Jenis pupuk N pada awal pertumbuhan tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, bobot tajuk, panjang akar, bobot akar, jumlah bintil dan bobot bintil akar. Hal ini diduga karena dosis pupuk N yang diberikan untuk setiap perlakuan sama, sehingga tanaman mendapatkan unsur hara yang sama dan cukup untuk pertumbuhannya. Menurut Jumin (2005) pertumbuhan vegetatif tanaman akan baik apabila unsur hara yang diberikan cukup bagi tanaman. Hasil analisis tanah yang digunakan memiliki nilai KTK yang tinggi (24,57 cmol/kg), pH tanah agak masam (6,0) dan kandungan N tanah rendah (0,14%). Berdasarkan data tersebut tanah yang digunakan cocok untuk pertumbuhan tanaman kedelai.
Tanaman yang diberi zeolit dengan dosis 10 g/tan menunjukkan pertumbuhan tinggi tanaman paling rendah, jumlah daun paling sedikit dan bobot akar paling rendah. Menurunnya pertumbuhan pada tanaman yang diberi perlakuan 10 g/tan diduga karena menurunnya unsur hara N yang diserap oleh tanaman karena dijerap oleh zeolit. Semakin tinggi dosis zeolit yang diberikan semakin banyak amonium yang dapat dijerap (Prakoso et al. 2006), sehingga menurunnya serapan N mengakibatkan pertumbuhan tanaman  terganggu, karena unsur N merupakan penentu pertumbuhan vegetatif tanaman (Hardjowigeno 2003). Selain itu, pertumbuhan akar yang kurang baik pada umur 3 dan 6 MST diduga karena meningkatnya kadar Na yang disebabkan oleh penambahan zeolit. Dewi (2006) melaporkan, menurunnya serapan hara N, P dan K pada tanaman caisim bangkok yang diberi zeolit dikarenakan meningkatnya kadar Na yang mengakibatkan terjadinya pemadatan tanah karena dispersi tanah oleh kadar Na yang tinggi, sehingga akar tanaman akan sulit berkembang dan menyerap hara dengan baik.
Pemadatan pada tanah menyebabkan suplai oksigen di sekitar perakaran menjadi rendah, yang mempengaruhi  akumulasi natrium. Natrium merupakan unsur hara mikro penunjang untuk tanaman tertentu dan dapat juga bersifat merugikan.  Pada tanaman jeruk dan alpukat, akumulasi natrium dalam jumlah sedang dalam jaringan tanaman mengakibatkan kerusakan pada daun  (Nyakpa et al. 1988). Meningkatnya akumulasi natrium pada tanaman jeruk sejalan dengan fluktuasi kandungan atau tinggi air tanah (Donahue et al. 1983). Jika akumulasi natrium dalam akar mencapai tahap kritis menyebabkan terganggunya adaptasi phylogenetik dari tanaman terhadap natrium yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman (Attumi 1997). Pada tanaman yang diberi zeolit 10 g/tan diduga mengalami peningkatan akumulasi natrium akibat dari pemberian zeolit. Dengan meningkatnya akumulasi natrium menyebabkan exchangeable sodium presentages (ESP) meningkat sehingga absorpsi kalsium berkurang (Attumi 1997). Kalsium merupakan unsur hara yang dibutuhkan dalam perkembangan akar secara normal (Mengel dan Kirkby 1978). Kalsium berperan dalam pertumbuhan tanaman untuk sintesis protein, pemanjangan dan pembelahan sel, pengangkutan air dan hara, meningkatkan produksi biji dan penting untuk pembentukan dan berfungsinya bakteri-bakteri bintil akar (Rhizobium) pada tanaman legum. Gejala awal kekurangan kalsium terlihat pada titik tumbuh daun muda menjadi klorosis, akar-akar muda melekuk dan berkerut-kerut pendek, sehingga tanaman menjadi kerdil dan produksinya menurun (Nyakpa et al. 1985).
 Pertumbuhan akar kedelai edamame pada awal pertumbuhan (3 MST) yang diberi  pupuk kompos lebih baik dibandingkan yang diberi pupuk urea dan ZA. Hal ini diduga karena kompos memberikan lingkungan yang baik untuk tumbuhnya mikroba tanah sehingga tanah menjadi subur dan gembur. Menurut Setyorini et al. (2013), gemburnya tanah yang diberi kompos disebabkan oleh senyawa-senyawa polisakarida yang dihasilkan oleh mikroorganisme pengurai pada kompos. Dengan struktur tanah yang baik berarti difusi O2 atau aerasi akan lebih banyak sehingga proses fisiologi di akar menjadi lebih baik. Selain itu, aktifitas berbagai mikroorganisme pada kompos menghasilkan berbagai macam hormon pertumbuhan (auksin, sitokinin dan giberelin) yang memacu pertumbuhan akar-akar rambut.
Jumlah dan bobot bintil akar pada tanaman yang diberi dosis zeolit Z3  paling tinggi pada awal pertumbuhan. Hal ini diduga karena amonium dan nitrat di sekitar tanaman dijerap sementara oleh zeolit. Selain itu, zeolit juga dapat menghambat konversi NH4+ menjadi NO3- (Al-Jabri 2009), dengan terjerap dan terhambatnya konversi amonium dan nitrat di sekitar tanaman menyebabkan pertumbuhan bintil akar berkembang lebih banyak. Pertumbuhan bintil akar dapat terhambat dengan pemberian pupuk N (Ray et al. 2006 dan Basu et al. 2008).

4.3.2 Pertumbuhan Generatif
Tanaman edamame yang diberi dosis zeolit 10 g/tan, nyata memiliki jumlah bunga yang paling sedikit dibanding perlakuan lain (Z0, Z1, Z2). Hal ini diduga berhubungan dengan perkembangan akar yang kurang baik pada tanaman yang diberi zeolit 10 g/tan yang menyebabkan hara yang diserap oleh tanaman lebih sedikit.
Peningkatan jumlah dan bobot bintil akar tanaman kedelai edamame terjadi pada fase generatif. Jumlah dan bobot bintil akar tanaman edamame yang diberi zeolit 10 g/tan menjadi tidak berbeda nyata dengan yang diberi zeolit dengan dosis lebih rendah. Ini diduga karena kebutuhan tanaman akan unsur hara N meningkat sehingga pembentukan bintil akar meningkat sejalan dengan berkurangnya ketersediaan unsur hara N yang diberikan melalui pemupukan akibat volatilisasi. Menurut Salisbury dan Ross (1995) tahap pertumbuhan juga mempengaruhi penambatan N2. Pada tanaman kedelai laju penambatan N2  tertinggi terjadi setelah pembungaan ketika kebutuhan nitrogen di dalam biji yang sedang berkembang meningkat. Sekitar 90 % penambatan N2 pada tanaman legum terjadi selama periode perkembangan reproduktif dan 10% pada  masa vegetatif. Sementara itu, dengan berkurangnya pupuk N di sekitar tanaman (akibat pencucian) mengakibatkan penambatan N2 secara biologi meningkat sehingga jumlah dan bobot bintil akar meningkat. Menurut Robertson dan Farnden (1980); Streeter (1988) penambatan N2 menurun sejalan dengan penambahan pupuk nitrogen yang yang diserap.
Tanaman yang diberi dosis zeolit 10 g/tan, pada fase pertumbuhan vegetatif mengalami pertumbuhan yang paling rendah dibandingkan dengan perlakuan yang lain, akan tetapi pada saat pembentukan dan pengisian polong tidak berbeda nyata dengan perlakuan yang diberi zeolit lebih rendah (Z0, Z1 dan Z2). Hal ini diduga, unsur hara N yang dijerap oleh zeolit diberikan kembali pada saat pembentukan dan pengisian polong edamame. Menurut Prakoso et al. (2006), zeolit akan melepaskan kembali unsur N yang dijerapnya setelah kelarutan N dalam tanah menurun. Dengan dilepasnya kembali unsur N oleh zeolit, menyebabkan tanaman yang diberi dosis 10 g/tan pada fase pembentukan dan pengisian polong tidak berbeda dengan tanaman yang diberi perlakuan lain.
Tanaman kedelai edamame yang diberi pupuk ZA dengan zeolit 10 g/tan (N2Z3) nyata memiliki luas daun dan kualitas polong isi yang lebih banyak dibanding dengan perlakuan lain. Hal ini diduga karena pupuk ZA yang memiliki reaksi fisiologi masam (dapat memasamkan tanah) dapat berinteraksi dengan zeolit. Menurut Trisunaryati (2009), zeolit dapat teraktivasi dengan asam. Al-jabri (2009) melaporkan, pemberian 3 ton zeolit dan 1 ton pupuk ZA pada tanah masam memberikan peningkatan hasil kedelai sebesar 46%.

V. KESIMPULAN DAN SARAN
   5.1 Kesimpulan
 Jenis pupuk N tidak berpengaruh nyata terhadap produksi kedelai edamame. Tanaman edamame yang diberi zeolit dengan dosis 10 g/tan, memiliki pertumbuhan tinggi tanaman (3-5 MST), jumlah daun (3-5 MST), bobot akar (3 dan 6 MST), bobot tajuk (6 MST), bobot basah total tanaman dan jumlah bunga (42 HST) paling rendah, tetapi jumlah dan bobot bintil paling tinggi (3 MST) dibanding tanaman yang diberi zeolit dengan dosis lebih rendah.

Luas daun dan jumlah polong berbiji tiga pada tanaman kedelai yang dipupuk ZA dengan zeolit 10 g/tan (N2Z3) nyata lebih tinggi dibanding dengan perlakuan lain.


5.2 Saran
Perlu adanya penelitian lanjutan tentang dosis zeolit dan dosis pupuk N pada urea, NPK, ZA dan kompos untuk mengetahui berapa besar N yang dapat dijerap oleh zeolit. Perlu adanya uji tanah pada media tanam setelah penelitian untuk mengetahui unsur hara yang dapat digunakan untuk penanaman berikutnya.



DAFTAR PUSTAKA

Adisarwanto T. 2005. Kedelai. Jakarta : Penebar Swadaya

Al-Jabri M, Setyorini D dan Hartatik W. 2011. Mineral zeolit untuk pembenah anah sawah intensifikasi. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian   3 (22)

Al-Jabri M. 2009. Peningkatan Produksi Tanaman Pangan dengan Pembenah Tanah Zeolit. Bogor : Balai Penelitian Tanah, Badan Litbang Pertanian.

Al-varez MAB, Gagne S and Antoun H. 1995. Effect of compost on rhyzospheremicoplora of the thomato and on the incidence plant growth promoting rhizobacteria. Applied Environ Microbiol 61 (1): 194-199.
Andrianto T T, Indarto N. 2004. Budidaya dan Analisis Usaha Tani Kedelai Kacang Hijau Kacang Panjang. Yogyakarta : Kanisius

Attumi A. 1997. Effect of salt stress on phosphorus and sodium absorptions by soybean plant. [Thesis] Canada : McGill University. Montreal.
Badan Pusat Statistik. 2012. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Kedelai Nasional. http//www.bps.go.id [07-01-2013]

Baharsjah J S. 1983. Legum Pangan. Bogor : Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-2010.www.litbang.deptan.go.id [07-01-2013]

Balitbang Pertanian. 2008. Ketersediaan Teknologi dalam Mendukung PeningkatanProduksi Kedelai Menuju Swasembada. Jakarta : Departemen Pertanian. www.litbang.deptan.go.id [07-01-2013]

Basu M, Bhadoria PBS, Mahapatra C. 2008. Growth, nitrogen fixation, yield and kernel quality of peanut in response to lime, organic and inorganic fertilizer levels. Bioresource Technol 99:4675-4683.
.
Benziger V  Shanmugasundaram. 1995. Taiwan’s frozen vegetable soybean industry. Shan Hua, Taiwan. AVRDC Tecnical Bul. 22, 15p. h.

Chen KF, Lay SH, S T Cheng. 1991. Vegetable soybean seed production technology in Taiwan. p:45-52. In: Shanmugasundaram (Ed.). Shan Hua. Taiwan: Vegetable Soybean AVRDC Pub. No. 91-346, 151 p.
Dariah A. 2007. Bahan pembenah tanah: prospek dan kendala pemanfaatannya. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. www.litbang.deptan.go.id  [16 Januari 2013]
Departemen Pertanian. 1989. Upaya Peningkatan Produksi Kedelai. Medan : Balai Informasi Pertanian Sumatra Utara. www.litbang.deptan.go.id [18 Oktober 2012]

Dewi D A L. 2009. Pengaruh zeolit dan biosoil pada sifat kimia tanah dan produksi tanaman caisim bangkok. [Skripsi] Bogor : Institut Pertanian Bogor.

Donahue L R, Miler R W, Shickluna J C. 1983. Soil and Introduction Soil and Plant growth 5nd ed.Prentice-hall. Inc.New Jersey. Englewood cliffs.
Eagly D B, Gyffy R D and Leggett J E. 1985. Partitioning of assimilate between vegetative and reproductive growth in soybean. Agron. J. 77:917-922

Ernawanto Q D, Noeriwan B S, Sugiono. 2011. Pengaruh pemberian zeolit terhadap  pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai. Prosiding seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi. Jawa Timur.

Estiaty LM, Suwardi, Fatimah D, Maruya I. 2006. Pengaruh zeolit dan pupuk kandang terhadap residu unsur hara dalam tanah. Zeolit Indonesia 5 (1) 4-6.
Fachruddin L. 2000. Budidaya Kacang-Kacangan. Yogyakarta : Kanisius.
Ghulamahdi M, Azis SA. 1992. Pengaruh pupuk N dan ZN terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai pada budidaya jenuh air. Bul. Agr.21(1):37-45.

Hardjanto S. 1983. Bahan Galian Zeolit :  Penggunaan dan Penyebarannya  di Indonesia. Bandung. Ditjen Pertambangan Umum. Departemen Pertambangan dan Energi.

Hardjowigeno S. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta: Akademika Presindo.

Hartatik W, L R Widowati. 2006. Pupuk Kandang. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Bogor : Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Herridge DF, People MB. 1990. The ureide assay for measuring nitrogen fixation by nodulated soybean calibrated by N methods. Plant Physiol. 93 : 495-503
Irwan W. 2006. Budidaya Tanaman Kedelai. Jatinangor : Universitas Padjadjaran.
John RF, David LH. 2001. Soybean yield response to reproductive stage soil-applied Nitrogen and foliar-applied Boron. Agron. J. 93: 1200-1209.

Jumin H B. 2005. Dasar-dasar Agronomi. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Kirana R, Gaswanto R, Hidayat IM. 2012. Budidaya dan produksi benih kedelai sayur. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. www.litbang.deptan.go.id [12 Desember 2012]
Leiwakabessy F M, Sutandi A. 2004. Pupuk dan Pemupukan. Bogor :  Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, IPB.
Lingga P, Marsono. 2004. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Jakarta : Penebar Swadaya.
Melati M, Andriyani. 2005. Pengaruh pupuk ayam dan pupuk hijau terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai panen muda yang dibudidayakan secara organik. Agron 33 (2): 8-15.
.
Melati  M. 1990. Tanggap kedelai terhadap pupuk mikro Zn, Cu, B pada beberapa dosis pupuk kandang di tanah latosol. [Thesis] Bogor : Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Mengel K, Kirkby A E. 1978. Principles of Plant Nutrition 4th Ed. Switzerland.  International Potash Institute Bern.
Miles CA, Lumkin TA, Zenz L. 2000. Edamame Department of Natural Resources. (http://foodfarm.wsu.edu.html) [7 Mei 2012]

Multasih S, Mugnisjah W, Sofandi D, Idris K. 2000. Pengaruh waktu dan cara pemberian N sebagai pupuk tambahan terhadap pertumbuhan dan hasil kedelai (Glycine max (L.) Merr.) pada budidaya basah. Agron 28 (1-14).
Nazarudin. 1993. Budidaya dan Pengaturan Panen Sayuran Dataran Rendah. Jakarta: Penebar Swadaya.

Nyakpa, Lubis, Pulung, Amrah G, Munawar A, Go Ban Hong, Hakim N. 1985. Kesuburan Tanah. Bandar Lampung : Universitas Lampung.

Poerwowidodo. 1992. Telaah Kesuburan Tanah. Bandung : Penerbit Angkasa.

Prakoso TG, Suwardi, Rosjidi M, Jufri A, Sulastri, Sitorus S. 2006. Study slow release fertilizer (SRF): uji efisiensi pupuk tersedia lambat campuran urea dengan zeolit. Bandar Lampung: Prosiding Seminar Nasional Zeolit V.
Purwantari N D. 2008. Penambatan nitrogen secara biologis perspektif dan keterbatasannya. Wartazoa 18 (1): 1-3.

Putra SE. 2009. Zeolit Sebagai Mineral Serbaguna. http://www.chem-is-try.org/?sect= artikel &ext=127. [01 Maret 2011]

Ray DJ, Heatherly LG, Fritschi, FB. 2006. Influence of large amount of nitrogen on nonirrigated and irrigated soybean. Crop Science 46:52-60.

Riyanto. Pengkajian Daya Hasil Lanjutan Beberapa Varietas Kedelai pada Tiga Jenis Tanah Berbeda di Provinsi Yogyakarta. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian  Yogyakarta. www.litbang.deptan.go.id [19-01-2013]

Robertson J G and Farnden K J F. 1990. Ultra-structure and metabolism of the developing legume root nodule. The Biochemistry of Plant, Vol 5.  New York. Academic Press.

Rubatzky V E dan Yamaguchi M. 1998. Sayuran Dunia, Prinsip, Produksi dan Gizi. Jilid ke 2. Penerjemah : Catur Herison.Bandung. Penerbit ITB.

Rukmana R dan Yuniarsih Y. 1996. Kedelai Budidaya dan Pascapanen. Yogyakarta : Kanisius.
Salisburry F B dan Ross C W. 1995. Fisiologi Tumbuhan jilid 2 (diterjemahkan dari Plant Physiologi, penerjemah: Diah R Lukmana dan Sumarya). Bandung: Penerbit ITB.
Samsu H S. 2001. Membangun Agroindustri Bernuansa Ekspor: Edamame ( vegetable soybean). Jember: Graha Ilmu dan Florentina.

Sastiono A. 2004. Pemanfaatan zeolit di bidang pertanian. Zeolit Indonesia. 3(1): 36-41.

Setyono A. 2008. Unsur Nitrogen Tanah dapat Meningkatkan Kadar Protein Beras. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. www.litbang.deptan.go.id [07-01-2013]

Setyorini D, Saraswati R, Anwar E K. Kompos. www.repository.ipb.ac.id [25 Mei 2013]

Seviana. 2003. Pengaruh pemupukan dengan menggunakan kotoran ayam dan rock phosphate terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai. [Skripsi] Bogor : Jurusan Budidaya Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Shanmugasundaram S, ST Cheng, MT Huang, ML Yan. 1991. Varietal improvement of vegetable soybean in Taiwan. p. 30-42. In: Shanmugasundaram (Ed.). Shan Hua. Taiwan :Vegetable Soybean AVRDC Pub.No. 91-346, 151 p.

Soewanto, Prasongko, Sumarno. 2007. Kedelai Teknik Produksi dan Pengembangannya (Agribisnis Edamame untuk Ekspor). Bogor : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.


Streeter J. 1988. Inhibition of legume nodule formation and N2 fixation by nitrate. CRC Critical Reviews in Plant Sciences 7:1-23

Subhan. 1992. Pengaruh dosis pupuk nitrogen dan kalium terhadap pertumbuhan tanaman bayam  kultivar giti hijau (Amaranthus tricolor L.). Bul. Agr. 24 (1): 29-38
Suprapto, H. S. 2001. Bertanam Kedelai. Jakarta: Penebar Swadaya.

Suwardi, Darmawan. 2009. Peningkatan efisiensi pupuk nitrogen melalui rekayasa kelat urea-zeolit- asam humat. Bogor: Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian IPB.
Suwardi. 2004. Teknologi pengomposan bahan organik sebagai pilar pertanian organik. Prosiding Simposium Nasional Pertanian Organik : Keterpaduan Teknik Pertanian Tradisional dan Inovatif.
Suwardi. 2007. Deposit dan sifat-sifat mineral zeolit serta pemanfaatanya sebagai bahan pembenah tanah. Yogyakarta. Prosiding HITI IX.

Suwardi. 2007. Pemanfaatan Zeolit untuk Perbaikan Sifat-Sifat Tanah dan Peningkatan Produksi Pertanian. Semiloka Pembenah Tanah Menghemat Pupuk Mendukung Peningkatan Produksi Beras. Departemen Pertanian: Jakarta 5 April 2007.

Suwardi. 1997. Studies on agricultural utilization of natural zeolites in Indonesia. Dissertation. Graduated School of Agriculture. Tokyo University of Agriculture.
Syafi’i, Sugiarti, Charlena. 2010. Modifikasi zeolit melalui interaksi dengan Fe(OH)3 untuk meningkatkan kapasitas tukar anion. Bogor. Prosiding Seminar Nasional Sains III.

Taiz L, Zeiger E. 1998. Plant Physiology 2nd ed. Sinauer Associates. Inc. Publ. Massachucetts.

Trisunaryati W. 2009. Zeolit Alam Indonesia Sebagai Absorben dan Katalis dalam Mengatasi Masalah Lingkungan dan Krisis Energi. Pidato pengukuhan jabatan guru besar dalam ilmu kimia pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Gadjah Mada.

Usri. 1991. Industri zeolit banyak gunanya. Ayam dan Telur 55: 31-33

Wasis B, Fathia N. 2011. Pengaruh pupuk NPK terhadap pertumbuhan semai Gmelina (Gmelina arborea Roxb.) pada media tanah bekas tabang (Tailing). Silvikultur Tropika 2 (1) 4.
Zapata F, Danso SKA, Hardarson G, Fried M. 1987. Time course of nitrogen fixation in field grown soybean using nitrogen- 15 methodology. Agron. J. 79 : 172-179